Piyu, gitaris dan Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), baru-baru ini mengungkapkan keprihatinan mengenai rendahnya nilai royalti yang diterima oleh para pencipta lagu di Indonesia. Dalam sebuah rapat konsultasi di DPR, Piyu menyebutkan bahwa ia hanya mendapatkan royalti sebesar Rp125.782 dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Pernyataan ini menarik perhatian publik dan menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi yang mencolok antara pencipta lagu dan penyanyi.
Dalam sesi diskusi tersebut, Piyu menyoroti ketidakadilan yang dialami oleh banyak pencipta lagu. “Kami melihat ada disparitas yang luar biasa antara kehidupan ekonomi pencipta lagu dengan para pengguna karya,” ungkapnya. Meski lagu-lagu yang mereka ciptakan digunakan secara komersial, banyak pencipta lagu masih tidak mendapatkan hak yang layak. Hal ini merugikan mereka, terutama yang mengandalkan royalti sebagai sumber pendapatan utama.
Piyu mengakui bahwa tidak semua pencipta lagu berada dalam posisi sulit yang sama. Beberapa musisi ternama, termasuk dirinya, Ahmad Dhani, dan Ariel NOAH, masih memiliki pendapatan dari aktivitas lain seperti konser, namun ada banyak pencipta lagu lain yang bergantung sepenuhnya pada royalti. “Masih banyak kawan-kawan pencipta lagu yang nasibnya hanya bergantung pada royalti,” tambahnya.
Fenomena ini mencerminkan masalah yang lebih luas dalam industri musik Indonesia. Banyak pencipta lagu yang merasa dihargai rendah meskipun karya mereka menjadi komoditas berharga. Berdasarkan hasil diskusi, banyak musisi yang hadir, termasuk Ariel NOAH, Vina Panduwinata, dan Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, sepakat bahwa perlu ada perubahan dalam sistem manajemen royalti agar para pencipta lagu mendapatkan hak mereka secara adil.
Dalam konteks yang lebih luas, anggota DPR yang juga merupakan musisi, seperti Ahmad Dhani, Once Mekel, dan Melly Goeslaw, turut mendukung inisiatif untuk menangani masalah ini. Mereka menyadari bahwa perlindungan untuk pencipta lagu adalah hal yang mendesak dan perlu diadakan reformasi dalam pola pembagian royalti.
Data dan laporan terkini menunjukkan bahwa banyak pencipta lagu merasa terpinggirkan dalam industri musik. Meskipun karya mereka menjadi viral atau banyak diputar di berbagai platform, mereka tidak mendapatkan imbalan yang proporsional. Hal ini mendorong seruan untuk rekonstruksi sistem hak cipta dan royalti di tanah air agar lebih adil bagi semua pihak yang terlibat.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah diusulkan, seperti transparansi dalam penghitungan royalti dan pembentukan wadah yang lebih inklusif bagi pencipta lagu. Selain itu, edukasi mengenai hak cipta dan manajemen royalti perlu dilakukan, agar para pencipta lagu memahami cara untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Pertemuan di DPR tersebut menunjukkan bahwa suara pencipta lagu mulai mendapatkan perhatian. Meski masih ada banyak tantangan di depan, upaya kolektif dari para musisi dan dukungan legislatif dapat menjadi langkah awal menuju perbaikan sistem yang lebih adil.
Kesadaran terhadap pentingnya hak cipta dan royalti di industri musik Indonesia perlu ditingkatkan. Dengan adanya pergeseran paradigma ini, diharapkan semakin banyak pencipta lagu yang dapat menikmati hasil dari karya seni mereka. Hal ini bukan hanya penting bagi kesejahteraan para musisi, tetapi juga dapat memperkaya industri musik nasional secara keseluruhan.
