Kritik Tunjangan Kos DPR Rp3 Juta per Hari: Jerome Polin Sebut Hotel Bintang Lima

Polemik mengenai tunjangan kos anggota DPR RI kembali mengemuka setelah pernyataan Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, yang menilai tunjangan tersebut tidak memadai. Dalam keterangan pers pada 19 Agustus 2025, Adies menyebutkan bahwa biaya kos di kawasan Senayan, Jakarta, mencapai sekitar Rp78 juta per bulan, sedangkan anggota DPR hanya menerima tunjangan sebesar Rp50 juta per bulan. Hal ini menimbulkan kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk sosok publik yang dikenal, Jerome Polin.

Jerome yang juga merupakan lulusan Matematika Terapan dari Universitas Waseda menanggapi pernyataan Adies secara langsung. Dalam unggahannya di akun TikTok, Jerome mempertanyakan logika perhitungan yang digunakan oleh Adies. Ia menunjukkan bahwa tunjangan Rp50 juta per bulan seharusnya lebih dari cukup untuk menutupi biaya kos yang hanya Rp3 juta per bulan. “Kenapa harus dikali 26 hari kerja? Kan satuannya beda. Bulan sama hari enggak boleh dikaliin,” tegas Jerome. Menurutnya, jika tunjangan dihitung per bulan, sisa dana yang dimiliki anggota DPR mencapai Rp47 juta.

Kritik Jerome tidak hanya terbatas pada perhitungan angka. Ia lebih jauh menyoroti kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. “DPR dapat Rp50 juta per bulan untuk tunjangan rumah, sedangkan banyak tenaga pendidik dan tenaga kesehatan di luar sana tidak tahu mau makan apa besok,” ungkapnya. Tambahnya, “Kalau begitu bukan ngekos namanya, tapi nginap di hotel bintang lima, Pak.” Pernyataan ini menciptakan gelombang diskusi di media sosial, di mana banyak warganet mengekspresikan kekecewaan terhadap kondisi ekonomi rakyat dibandingkan dengan kenyamanan yang diterima anggota DPR.

Dalam penjelasan lebih lanjut, Adies Kadir memberikan klarifikasi bahwa tunjangan tersebut merupakan pengganti fasilitas Rumah Jabatan Anggota yang telah dikembalikan ke negara. Ia juga tidak merinci lebih lanjut perhitungan yang mengundang pro dan kontra tersebut. Untuk menanggapi kritik, Adies berusul agar anggota DPR mencari kos dengan harga yang lebih terjangkau, contohnya yang hanya Rp1 juta per bulan.

Kritik terhadap tunjangan DPR ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara, khususnya di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit. Berbagai sektor, seperti pendidikan dan kesehatan, sering kali menghadapi keterbatasan anggaran dan kekurangan fasilitas, sementara anggota DPR justru mendapatkan tunjangan yang terbilang besar. Hal ini menjadi pertanyaan besar tentang prioritas dan kebijakan sosial pemerintah.

Banyak yang meminta agar tunjangan dan fasilitas yang diberikan kepada anggota DPR dievaluasi. Kebijakan ini diharapkan lebih mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang lebih luas dan mengurangi kesenjangan antara pejabat negara dan rakyat biasa. Di tengah situasi ini, warga berharap agar para pemimpin di tingkat legislatif lebih mendengar aspirasi dan keluhan yang muncul dari masyarakat.

Kontroversi mengenai tunjangan DPR bukanlah isu baru, tetapi semakin relevan dengan kondisi perekonomian yang banyak dikeluhkan. Sementara itu, pernyataan Jerome Polin berhasil menggugah kesadaran masyarakat untuk lebih kritis terhadap isu-isu seputar kebijakan publik. Kemandirian dan akuntabilitas anggota DPR menjadi sorotan utama di tengah himpitan ekonomi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Dengan sorotan penuh terhadap ketimpangan tunjangan ini, diharapkan ada langkah konkret untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi. Pendekatan yang lebih adil dan merata dalam pemberian tunjangan dan fasilitas kepada anggota DPR diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan saat ini. Hal ini bukan hanya mengenai angka tunjangan, tetapi juga mencerminkan bagaimana negara menghargai dan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

Exit mobile version