Sejak rumah Ahmad Sahroni, anggota DPR RI nonaktif, dijarah pada Jumat, 30 Agustus 2025, kejadiannya menuai perhatian publik. Sahroni dikabarkan tidak akan menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang bersedia mengembalikan barang-barang berharga yang sempat diambil. Pernyataan ini disampaikan oleh Achmad Winarso, Ketua Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) Kebon Bawang, yang mewakili keluarga Sahroni.
Menurut Winarso, pihak keluarga Sahroni menyambut baik niat baik warga untuk mengembalikan barang-barang tersebut. Dia menyatakan, “Pihak keluarga tidak akan menempuh jalur hukum bagi warga yang dengan kesadaran menyerahkan barang melalui Polres Metro Jakarta Utara maupun langsung kepada keluarga.”
Berdasarkan laporan kepolisian, setidaknya 32 jenis barang berharga milik Sahroni telah berhasil dikembalikan oleh warga setelah kejadian tersebut. Kontak yang baik antara masyarakat dan pihak kepolisian diduga berperan penting dalam pengembalian barang-barang yang dijarah. “Sebanyak 32 item barang-barang milik Ahmad Sahroni yang sempat dijarah warga di kediamannya kini telah dikembalikan,” tuturnya.
Pengembalian barang-barang ini dilakukan tanpa paksaan. Winarso menegaskan bahwa barang-barang tersebut diserahkan secara sukarela oleh warga kepada Polres Metro Jakarta Utara. Salah satu barang yang berhasil dikembalikan bahkan termasuk sertifikat tanah. Proses pengembalian ini menunjukkan adanya kerjasama yang baik antara pihak keluarga, masyarakat, dan kepolisian.
Sikap kooperatif masyarakat memperoleh apresiasi dari Winarso. Ia berharap bahwa kerja sama ini dapat terus berlanjut untuk menjaga keamanan dan ketertiban. “Kami berkomitmen untuk menjaga keamanan, ketertiban, serta membangun sinergi yang baik antara warga dengan pihak kepolisian maupun keluarga korban,” tambahnya.
Kejadian penjarahan ini terjadi tidak lama setelah Sahroni mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyerukan ‘rakyat tolol’ dalam menanggapi seruan pembubaran DPR RI. Ucapan tersebut memicu kemarahan masyarakat dan berujung pada aksi demonstrasi besar-besaran di Gedung DPR. Dalam akibatnya, Sahroni dinonaktifkan dari jabatannya sebagai anggota DPR oleh Partai NasDem, keputusan yang mengguncang karier politiknya.
Kasus ini juga menggarisbawahi permasalahan lebih besar terkait hubungan antara elit politik dan warga masyarakat. Komentar yang dinyatakan Sahroni dianggap mencerminkan ketidakpekaan terhadap suara rakyat, yang berujung pada reaksi negatif.
Dari peristiwa ini, muncul pertanyaan mengenai bagaimana seharusnya para pemimpin berinteraksi dan merespons aspirasi masyarakat, terutama dalam situasi yang dapat memicu ketegangan. Selain itu, kasus ini juga membuka ruang untuk diskusi tentang pentingnya menjaga hubungan baik antara aparat keamanan dan masyarakat.
Melihat perkembangan ini, keinginan Sahroni untuk tidak membawa masalah ini ke ranah hukum menunjukkan harapan untuk perbaikan hubungan dengan masyarakat. Dengan situasi yang masih bergejolak, langkah ini mungkin menjadi strategi untuk meraih kembali simpati publik dan memperbaiki citranya yang telah tercemar.
Situasi ini tidak hanya menggugah perhatian masyarakat, tetapi juga menjadi pelajaran bagi para politikus lainnya tentang pentingnya komunikasi yang sensitif. Apakah tindakan Sahroni ini akan mengubah pandangan publik terhadap dirinya? Sementara itu, keamanan dan ketertiban di lingkungan sekitar menjadi tanggung jawab bersama untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa mendatang.





