Kasus mutilasi yang terjadi di Hutan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah menarik perhatian publik dan memperdebatkan kembali istilah “femisida”. Pembunuhan yang dilakukan oleh Alvi Maulana (AM) terhadap kekasihnya, TAS, dan disertai tindakan memutilasi jasad korban, menunjukkan pola kekerasan yang mengkhawatirkan. Istilah femisida merujuk pada pembunuhan perempuan yang terjadi karena gender mereka, dan merupakan hasil dari eskalasi kekerasan berbasis gender. Netizen dan aktivis mulai mendiskusikan apakah tindakan AM dapat dikategorikan sebagai femisida.
Menurut data dari Komnas Perempuan, femisida terjadi sebagai konsekuensi dari kekerasan berbasis gender yang sistemik. Kasus yang terjadi di Mojokerto bukanlah yang pertama; berdasarkan fakta internasional, rata-rata 140 perempuan dan anak perempuan dibunuh setiap hari oleh pasangan intim atau anggota keluarganya. Hal ini ditekankan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik yang menyoroti kurangnya perhatian pada fenomena ini di Indonesia.
Dalam konferensi pers yang digelar oleh Kepolisian Resor Mojokerto, Kepala Polres, AKBP Ihram Kustarto, mengungkapkan bahwa AM memilih Hutan Pacet sebagai tempat membuang potongan tubuh untuk menghilangkan jejak. Penemuan berbagai potongan tubuh korban menambah keparahan kasus ini, ditambah dengan fakta bahwa pelaku melakukan tindakan kekerasan ekstrem sebelum membunuh TAS.
Femisida, sebagai sebuah konsep, memerlukan pemahaman yang lebih dalam. Global Study on Homicide 2019 yang diterbitkan oleh UNODC menjelaskan bahwa femisida tidak selalu bersifat jelas dan terdefinisi dengan baik. Ini bukan sekadar pembunuhan perempuan, melainkan memiliki akar yang kuat dalam hubungan kekuasaan yang timpang antara gender. Pelaku bisa saja tidak memiliki motivasi eksplisit yang berhubungan dengan gender, namun tindakan mereka tetap harus dipandang dalam konteks kekerasan gender.
Dalam konteks hukum Indonesia, kekerasan terhadap perempuan, termasuk yang berujung pada kematian, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Aturan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengukuhkan larangan melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian. Kasus di Mojokerto jelas melanggar hak korban sebagai manusia, baik dalam aspek hak untuk hidup maupun hak untuk dilindungi dari kekerasan.
Lebih dari itu, definisi femisida yang buruk dalam praktik penegakan hukum di Indonesia berimplikasi pada penanganan kasus-kasus seperti ini. Adanya kesulitan dalam pembedaan antara pembunuhan biasa dan femisida membuat pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender menjadi lebih kompleks. Komnas Perempuan merekomendasikan agar pemerintah membentuk Femisida Watch untuk meningkatkan mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan bagi keluarga korban.
Situasi ini menggarisbawahi perlunya perhatian serius dari masyarakat dan negara terkait masalah kekerasan berbasis gender. Dengan semakin banyaknya tuntutan untuk mengakui dan mengatasi femisida, diharapkan akan ada perubahan dalam cara pandang dan penanganan terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan.
Akhirnya, diskusi mengenai femisida harus terus bergulir, dari media sosial hingga forum-forum akademis dan kebijakan pemerintah. Setiap langkah yang diambil untuk memerangi fenomena ini penting untuk memastikan bahwa perempuan dapat hidup tanpa rasa takut akan kekerasan dan kehilangan nyawa hanya karena gender mereka.
