Aktivis dan musisi Melanie Subono baru-baru ini melontarkan kritik tajam terhadap pernyataan Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, M. Q. Iswara, yang mengeluhkan tunjangan perumahan sebesar Rp71 juta per bulan. Dalam unggahan di Instagram pada Rabu, 10 September 2025, Melanie mengungkapkan rasa herannya terhadap mentalitas para pejabat yang masih mengeluhkan besarnya tunjangan tersebut, meskipun rakyat saat ini tengah menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
“Ya Allah, nggak ada kapoknya,” ungkap Melanie, menyayangkan kurangnya empati pejabat terhadap kondisi masyarakat yang lebih luas. Banyak rakyat yang terpaksa berjuang dengan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang berat, bahkan harus tinggal di rumah kos karena tidak mampu membeli rumah sendiri. Melanie menegaskan bahwa situasi ini menciptakan kesenjangan yang mencolok antara pejabat dan warga biasa.
Kritik Melanie ini muncul sebagai respons terhadap pernyataan Iswara, yang menganggap bahwa tunjangan perumahan yang diterimanya tidak cukup untuk membeli rumah. “Kita sebagai yang bayar gajinya aja, KPR ngos-ngosan. Ujung-ujungnya ngekos,” sambung Melanie, menunjukkan bagaimana masyarakat biasa harus beradaptasi dalam keterbatasan ekonomi.
Dalam pernyataannya, Melanie memberikan perumpamaan yang mengena. Ia menjelaskan bahwa jika tidak mampu membeli daging, masyarakat biasanya memilih tempe sebagai alternatif lauk. “Nggak bisa makan daging, ya makan tempe. Nggak bisa makan salmon, ya beli ikan teri. Nggak bisa beli rumah, ya ngontrak,” pungkasnya. Analogi ini menggambarkan realita pahit yang dihadapi banyak warga dalam kondisi ekonomi saat ini.
Keluhan Iswara yang dipublikasikan menimbulkan beragam reaksi di tengah masyarakat. Banyak yang menyatakan bahwa pernyataan tersebut mencerminkan ketidakpekaan terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat. Kondisi ini mengingatkan publik pada demonstrasi baru-baru ini mengenai tunjangan rumah anggota DPR RI, yang hingga menimbulkan korban jiwa akibat kerusuhan.
Melanie menekankan pentingnya para pejabat untuk menyadari bahwa tugas mereka adalah melayani masyarakat yang memberi mereka gaji. “Emang harus banget beli?,” tanya Melanie, menggelitik pemikiran publik tentang kekayaan yang dinikmati sejumlah pejabat di tengah kemiskinan yang melanda banyak orang.
Tidak hanya itu, semakin banyak masyarakat yang merasa terpinggirkan oleh kepentingan pejabat yang seharusnya representatif. Tunjangan yang diterima oleh pejabat publik bukan hanya soal angka, tetapi menggambarkan prioritas kebijakan yang sering kali berseberangan dengan realitas masyarakat.
Sementara itu, kritikan tajam Melanie ini disambut oleh berbagai kalangan yang menilai bahwa pejabat publik seharusnya lebih mempertimbangkan situasi ekonomi rakyat. Ketidakpuasan ini menjadi sinyal bahwa ada urgensi untuk menjadikan kebijakan publik lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam beberapa pekan terakhir, sikap para pejabat yang terus-menerus mengeluhkan tunjangan di tengah kondisi perekonomian yang sulit justru semakin memperlebar kesenjangan antara pemerintah dan rakyat. Aktivitas yang ditunjukkan oleh Melanie Subono ini tidak hanya menyoroti masalah tunjangan, tetapi juga mencerminkan kebutuhan akan pemerintahan yang lebih sensitif dan peka terhadap suara rakyat.
Sebagai respons terhadap kritik tersebut, diharapkan para wakil rakyat dapat lebih merenungkan peran dan fungsinya. Untuk memastikan kesejahteraan masyarakat, diperlukan sinergi antara kebijakan yang dibuat dengan realitas yang dihadapi oleh rakyat. Ketika tunjangan yang dinikmati seakan menjadi prioritas di atas kebutuhan dasar masyarakat, maka suara kritis seperti yang diungkapkan Melanie menjadi sangat penting bagi perubahan ke arah yang lebih baik.
