Dalam kebangkitan isu publik mengenai keabsahan ijazah Gibran Rakabuming Raka, sosok Dian Hunafa, alumna Management Development Institute of Singapore (MDIS), muncul untuk menjelaskan sistem pendidikan di kampusnya. Dian mengungkapkan bahwa MDIS, sebagai institusi swasta di Singapura, memiliki batasan dalam menerbitkan ijazah untuk lulusan jenjang sarjana.
Menurut penjelasan Dian, kampus-kampus swasta di Singapura hanya dapat mengeluarkan ijazah diploma secara langsung. “Jika ingin mendapatkan ijazah setara strata satu, kampus swasta harus bekerja sama dengan universitas luar negeri,” ujarnya. Ini menandakan bahwa ijazah yang diterima Gibran, yang juga merupakan alumni MDIS, adalah hasil kerja sama antara MDIS dan Universitas Bradford, Inggris.
Dian menunjukkan bukti ijazahnya yang berasal dari Universitas Sunderland, di mana ia menyelesaikan program sarjananya. Dalam wawancaranya, ia menjelaskan bahwa MDIS mengeluarkan ijazah untuk jurusan diploma, sedangkan gelar sarjana seperti milik Gibran berasal dari universitas rekanan. Dian menjelaskan, “Kampus tidak menyertakan IPK dalam ijazahnya. Sebagai gantinya, mereka menggunakan istilah seperti ‘Second Class Honours’.”
Ijazah Gibran menunjukkan ia menyelesaikan studi di MDIS dan mendapatkan gelar Bachelor of Science (B.Sc.) dalam Marketing dari Universitas Bradford pada 13 November 2010. Dari informasi yang beredar, klasifikasi nilai Gibran diartikan sebagai “Second Class Honours Second Division,” yang menyiratkan bahwa IPK-nya mungkin berkisar antara 2,48 hingga 3,07.
Melalui penjelasan Dian, publik dapat memahami bagaimana pendidikan di MDIS dan universitas luar negeri terintegrasi. Ini juga mengkoreksi adanya kesalahpahaman terkait jenis ijazah yang diterbitkan MDIS. Meskipun ijazah Gibran berasal dari universitas rekanan di luar negeri, statusnya tetap sah karena sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Berdasarkan penelusuran lebih lanjut, pengakuan terhadap gelar yang didapat Gibran tidak lepas dari sistem pendidikan yang berlaku di UK, di mana gelar sarjana seperti “Second Class Honours” menjadi standar penilaian. Ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa MDIS yang melanjutkan studi di universitas rekanan dapat memperoleh gelar yang diakui secara internasional.
Dalam situasi ini, masyarakat perlu memahami aspek penting dari pendidikan di luar negeri, terutama mengenai akreditasi dan keabsahan ijazah. Dukungan dari alumni seperti Dian Hunafa memberikan perspektif baru dalam menanggapi kritik yang muncul terhadap Gibran. Penjelasan yang faktual dan transparan ini diharapkan dapat meredakan keraguan masyarakat tentang pendidikan Gibran dan legitimasi ijazahnya.
Untuk jelasnya, ijazah yang diterima Dian dan Gibran menunjukkan bahwa meskipun mereka berada di institusi yang sama, jalur pendidikan yang mereka lalui melibatkan perguruan tinggi yang berbeda di luar negeri. Ijazah Dian dari Universitas Sunderland dan ijazah Gibran dari Universitas Bradford masing-masing mengilustrasikan perbedaan dalam klasifikasi dan sistem penilaian pendidikan internasional.
Dari situasi ini, terlihat pentingnya memahami dan mendalami informasi yang beredar, termasuk mengenai pendidikan luar negeri dan bagaimana kampus swasta beroperasi. Sikap terbuka dan klarifikasi yang diberikan oleh alumni seperti Dian membantu masyarakat mendapatkan fakta yang lebih jelas dan akurat.
Pendidikan internasional sering kali menghadapi tantangan dalam penyerapan informasi, dan kasus Gibran adalah salah satu contoh di mana masyarakat mencari kepastian mengenai akreditasi gelar dan keasliannya. Penekanan pada transparansi dan edukasi mengenai sistem pendidikan luar negeri menjadi semakin penting di tengah polemik yang terjadi saat ini.





