Media sosial belakangan ini diramaikan oleh fenomena yang menyentuh isu yang sering kali dianggap tabu, yaitu “Surat Izin Menstruasi”. Sebuah kampanye yang diprakarsai oleh merek produk pembalut ini bertujuan untuk memberdayakan perempuan dalam mengakui kebutuhan istirahat saat menstruasi tanpa merasa bersalah. Dalam beberapa hari terakhir, papan iklan raksasa yang menyuarakan pesan ini terpajang di berbagai titik strategis di Jakarta, menarik perhatian banyak warganet, khususnya kaum hawa.
Papan iklan tersebut menampilkan gambar seorang perempuan yang tampak kesakitan akibat nyeri menstruasi di tengah transportasi umum. Pesan yang tertulis di papan iklan tersebut menggugah empati, menyiratkan bahwa banyak perempuan selama ini merasa harus “pura-pura kuat” meskipun sebenarnya merasa tidak nyaman. “Saat menstruasi, tubuh bilang STOP, tapi banyak perempuan yang dituntut untuk terus beraktivitas,” adalah salah satu kalimat yang menegaskan perlunya mendengarkan sinyal tubuh saat haid.
Kampanye ini menjadi penting mengingat banyak perempuan yang masih merasa tertekan untuk menutupi rasa sakit yang mereka alami. Dalam pandangan beberapa pengguna media sosial, seperti @salshaindr, hal ini menciptakan diskursus yang mencengangkan. Dalam cuitannya, ia menegaskan, “Dunia memang perlu tahu kalau aku sedang menstruasi,” menunjukkan bahwa pengakuan terhadap kondisi menstruasi adalah hal yang alami dan tidak perlu disembunyikan.
Pentingnya pengakuan ini juga didukung oleh fakta hukum. Surat Izin Menstruasi, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 8 tentang Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa pekerja perempuan yang mengalami sakit saat haid berhak untuk tidak bekerja pada hari pertama atau kedua menstruasi, selama mereka memberitahukan keadaan tersebut kepada atasan. Meskipun ada regulasi ini, masih banyak tempat kerja yang kurang memperhatikan atau bahkan menstigmatisasi perempuan yang meminta izin berdasarkan kondisi tersebut.
Banyak warganet memberikan dukungan positif atas kampanye ini dan berbagi pengalaman pribadi terkait menstruasi. Sebagian pengguna mengungkapkan kelegaan mereka bahwa ada yang mengetengahkan isu ini. Seperti ungkapan dari @tsabilaa, “Surat Izin Menstruasi nyadarin gue kalau gapapa kok istirahat dulu.” Ini menjelaskan bagaimana kampanye ini bukan hanya sekedar iklan, tetapi juga sebuah gerakan untuk mendidik masyarakat agar lebih peka terhadap kondisi perempuan.
Namun, tidak semua tanggapan positif. Di media sosial, ada narasi yang meremehkan isu menstruasi, bahkan dari sesama perempuan. Misalnya, ada komentar yang menyebutkan bahwa meminta izin karena haid adalah ‘alay’. Ini menunjukkan bahwa stigma dan penghakiman sosial masih ada dan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan.
Kampanye Surat Izin Menstruasi menunjukkan bahwa mengajak masyarakat untuk berdiskusi tentang menstruasi adalah langkah positif dalam menghapus stigma. Ini tidak hanya tentang memberi izin untuk istirahat, tetapi juga untuk mengedukasi masyarakat bahwa menstruasi adalah bagian alami dari kehidupan setiap perempuan yang sering kali menemui kesulitan untuk diungkapkan.
Dengan merambahnya isu ini ke ruang publik, diharapkan akan ada perubahan lebih lanjut dalam cara perempuan diperlakukan saat mengalami haid, baik dalam konteks pribadi maupun profesional. Meningkatkan kesadaran dan mendorong diskusi terbuka adalah langkah awal untuk dapat mencapai hak yang setara dalam jam kerja dan perlakuan di masyarakat.
Fenomena Surat Izin Menstruasi bukan sekadar kampanye iklan, melainkan suatu refleksi dari perjuangan perempuan dalam mendapatkan pengakuan dan hak mereka. Melalui suasana diskusi yang sehat, diharapkan stigma yang selama ini melekat perlahan-lahan dapat terkikis, memberi perempuan suara dan hak yang semestinya dalam setiap aspek kehidupan.
Source: www.suara.com
