Era kecerdasan buatan (AI) menghadirkan tantangan serius bagi industri musik Indonesia, memunculkan kebutuhan mendesak untuk menetapkan aturan main yang jelas. Dalam konteks ini, Giring Ganesha, bersama dengan Konferensi Musik Indonesia (KMI) 2025, mendorong perlunya penyusunan kebijakan nasional terkait penggunaan AI dalam produksi dan distribusi musik. Kebijakan ini penting untuk mengatur isu-isu krusial seperti perlindungan hak cipta, sistem royalti, serta etika dalam pemanfaatan teknologi AI.
Dalam acara yang berlangsung di kawasan Senayan, Jakarta Pusat pada 11 Oktober 2025, Giring menegaskan, “Kami mendorong penyusunan pedoman dan kebijakan nasional yang mengatur penggunaan teknologi AI. Hal ini mencakup aspek hak cipta, royalti, dan etika.” Pernyataan ini mencerminkan kesadaran pelaku industri akan dampak signifikan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi, khususnya dalam cara musik diproduksi dan didistribusikan.
Satu aspek yang menonjol adalah perlindungan hak cipta. Dalam era di mana siapa pun dapat dengan mudah mengakses dan mendistribusikan musik secara digital, keberadaan undang-undang yang mengatur hak cipta menjadi semakin penting. Ini terkait erat dengan pengumpulan royalti, di mana musisi dan pencipta lagu sering kali merasa dirugikan oleh ketidakadilan dalam sistem yang ada. KMI 2025 berupaya memperjuangkan keadilan ini dengan meningkatkan transparansi dan keadilan dalam distribusi royalti.
Lebih jauh lagi, KMI 2025 tidak hanya fokus pada isu-isu domestik. Mereka juga mendukung usulan yang diajukan oleh Kementerian Hukum Indonesia di level internasional. Proposal ini, yang dikenal sebagai "The Indonesian Proposal for a Legally Binding Instrument on the Governance of Copyright Royalty in Digital Environment", bertujuan untuk menciptakan instrumen hukum internasional di bawah naungan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Tujuannya adalah untuk mengatasi ketimpangan dalam pengumpulan dan distribusi royalti digital, yang sering kali merugikan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Giring menegaskan, “Kami yakin langkah strategis ini akan membantu menciptakan keadilan bagi para kreator di tengah arus digitalisasi yang terus berkembang.” Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di pentas global, Indonesia berupaya memperjuangkan hak-hak kreator musik.
Fokus utama dari inisiatif ini mencakup beberapa poin penting:
- Perlindungan Hak Cipta: Memastikan bahwa hak-hak para pencipta lagu dan musisi terlindungi di era digital.
- Sistem Royalti yang Adil: Mendorong transparansi dalam pengelolaan royalti agar musisi mendapatkan imbalan yang layak atas karya mereka.
- Etika Penggunaan Teknologi: Membangun kerangka kerja etik untuk penggunaan teknologi AI dalam industri musik.
Dalam menanggapi disrupsi teknologi, KMI 2025 tidak hanya ingin memenuhi tuntutan zaman, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua pelaku industri musik. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk musisi, akademisi, pembuat kebijakan, dan penikmat musik, mereka berusaha untuk mendiskusikan dan merumuskan kebijakan yang komprehensif.
Dalam konteks global, dukungan untuk proposal di tingkat WIPO juga bisa jadi langkah kunci dalam mencapai kesepakatan internasional yang bermanfaat bagi semua pihak. Hal ini penting untuk menanggapi tantangan di era digital, di mana musik sering kali dibagikan dan dikonsumsi secara luas tanpa adanya pengaturan yang jelas.
Kepedulian terhadap isu-isu ini mencerminkan keseriusan KMI 2025 dalam mengatasi tantangan yang dihadapi oleh industri musik. Diharapkan, melalui langkah-langkah ini, industri musik Indonesia tidak hanya dapat beradaptasi dengan perubahan yang cepat, tetapi juga menjadi pemimpin dalam penerapan kebijakan yang menguntungkan bagi semua pihak di era digital.
Source: www.suara.com





