Musisi legendaris Rhoma Irama mengungkapkan kekecewaannya terhadap sebuah program televisi yang dianggapnya telah merusak citra pesantren dan para kiai di Indonesia. Dalam sebuah video yang tayang di kanal YouTube pribadinya, ia menyampaikan kritik terhadap tayangan yang viral dan dinilai menyudutkan institusi pondok pesantren. Menurut Rhoma, narasi yang berkembang dalam tayangan tersebut sangat tidak proporsional dan mencerminkan pandangan yang keliru tentang kehidupan pesantren.
Dalam program ‘Bisikan Rhoma’ yang ditayangkan pada 18 Oktober 2025, Rhoma menyoroti beberapa isu yang diangkat dalam tayangan itu. Ia menjelaskan bahwa tayangan tersebut menggambarkan kiai sebagai sosok yang harus disembah dan santri sebagai budak yang bekerja tanpa imbalan. “Misalnya isunya begini, bahwa kiai itu harus disembah. Kemudian santri itu seperti budak. Dia bekerja tanpa dibayar,” ucapnya dengan nada kecewa.
Menolak Narasi Feodalisme
Rhoma Irama dengan tegas menolak anggapan bahwa sistem dalam pesantren bersifat feodal. Menurutnya, apa yang dilakukan santri terhadap kiai merupakan ekspresi dari akhlakul karimah, atau akhlak yang mulia, sebagi bentuk penghormatan. “Sementara yang terjadi di dalam pesantren itu bukan feodalisme, tetapi apa pun yang dilakukan santri kepada kiainya itu bersifat atau bernama akhlakul karimah,” jelasnya.
Pernyataan tersebut didukung oleh berbagai kalangan, termasuk para penggiat pesantren yang merasa bahwa praktik di dalam pesantren lebih mengarah pada pendidikan karakter dan moral yang baik. Rhoma berpendapat bahwa tindakan santri yang menghormati kiai perlu dipahami dalam konteks hubungan yang saling menghormati dan bukan sebagai bentuk penindasan.
Pesan untuk Masyarakat
Melalui kritiknya, Rhoma Irama berharap agar citra pesantren tidak dirusak oleh narasi-narasi yang keliru. Ia mengingatkan bahwa masyarakat harus memahami bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang berwujud ukhuwah Islamiyah. “Citra pesantren itu jangan dirusak dengan narasi-narasi seperti ini,” tegasnya, menunjukkan kepeduliannya terhadap masa depan lembaga pendidikan berbasis agama ini.
Dukungan terhadap pernyataan Rhoma juga muncul dari berbagai tokoh masyarakat yang menginginkan perlunya keseimbangan dalam peliputan media, terutama yang berkaitan dengan pendidikan agama. Hal ini penting untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai peran dan fungsi pesantren dalam masyarakat Indonesia.
Respon Media dan Masyarakat
Tayangan yang menjadi sorotan ini awalnya dipandang banyak kalangan sebagai upaya untuk mendalami kehidupan santri dalam pesantren, namun ternyata berbalik menjadi kontroversi. Tidakkah seharusnya media memiliki tanggung jawab untuk memberi gambaran yang seimbang dan akurat tentang institusi-institusi penting dalam masyarakat?
Pasca kritik dari Rhoma Irama, beberapa netizen dan pengamat media juga ikut mengemukakan pendapatnya tentang pentingnya peliputan yang adil dan berimbang. Banyak di antara mereka yang menyarankan agar media lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi, terutama yang dapat berpotensi menimbulkan stigma negatif terhadap pesantren dan para pengajaran.
Menjaga Akhlak dan Nilai Moral
Dalam konteks yang lebih luas, pernyataan Rhoma Irama mengingatkan kita bahwa pendidikan akhlak dan moral merupakan bagian penting dari kehidupan bermasyarakat. Santri yang belajar di pesantren tidak hanya dipersiapkan untuk mendapatkan ilmu agama, tetapi juga dibekali dengan nilai-nilai moral yang penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, penting bagi kita semua untuk memahami dan menghargai peran pesantren dalam membentuk karakter dan moral generasi muda Indonesia, dan menghindari pemahaman yang keliru yang dapat merusak citra baik lembaga ini. Rhoma Irama, dengan pengalamannya di dunia seni dan aktivitas sosial, kembali mengingatkan kita akan pentingnya akhlak dan interaksi positif di antara sesama.
Source: www.suara.com
