3 Minggu di Nusakambangan: Ammar Zoni Harapkan Sidang Offline, Apa yang Terjadi?

Ammar Zoni, aktor Indonesia, kini menjadi sorotan publik setelah meminta agar sidang kasus dugaan penjualan narkotika yang menjeratnya berlangsung secara offline. Setelah tiga minggu di Lapas Super Maximum Security Nusakambangan, Ammar menyampaikan kesulitan yang ia alami saat mengikuti sidang secara daring dari Rutan Salemba di Jakarta Pusat.

Dalam sidang yang diadakan pada 6 November 2025, Ammar mengeluh tentang keterbatasan komunikasi dengan tim penasihat hukum. “Bagaimana kita mau bisa melaksanakan sidang eksepsi ini kalau komunikasi kami sangat dibatasi,” ujarnya. Dia juga menunjukkan bahwa tidak ada akses untuk menggunakan kertas dan pena selama proses sidang berlangsung, yang menyulitkan partisipasinya.

Ammar menjelaskan kendala lain, yakni akses untuk melakukan panggilan video atau telepon yang sepenuhnya tertutup. Hal ini membuatnya semakin berharap agar sidang-sidang selanjutnya bisa dilakukan secara tatap muka. “Kami sekali lagi berharap untuk bisa dihadirkan offline selama persidangan, karena yang paling penting itu kan saat ini komunikasi,” tambahnya.

Majelis Hakim merespons permintaan Ammar. Mereka mengindikasikan kemungkinan untuk menggelar sidang secara tatap muka, terutama saat memasuki tahap pembuktian. “Kami tidak menutup kemungkinan untuk sidang offline,” jelas Hakim Ketua. Ini menunjukkan bahwa ada ruang bagi perubahan berdasarkan kebutuhan peserta sidang, khususnya dalam hal komunikasi.

Mengenai kasus yang menjerat Ammar, ia didakwa menjual narkotika jenis sabu di Rutan Salemba. Ia dilaporkan menerima sabu seberat 100 gram dari seorang pria bernama Andre. Sabu tersebut kemudian dibagikan kepada terdakwa lain untuk diedarkan di dalam rutan. Transaksi ini diketahui telah berlangsung sejak 31 Desember 2024.

Sebagai dampak dari kasus ini, Ammar dan lima terdakwa lainnya dipindahkan ke Lapas Nusakambangan pada 16 Oktober 2025. Penempatan di fasilitas Super Maximum Security ini menandakan tingkat keparahan tuduhan yang dihadapi.

Selama berada di Nusakambangan, Ammar berusaha beradaptasi dengan berbagai perubahan kondisi. Dalam wawancara sebelumnya, dia menyatakan harapannya untuk mendapatkan keadilan seiring dengan proses hukum yang sedang berlangsung. Ammar percaya bahwa komunikasi yang baik dengan tim hukum adalah kunci dalam memperjuangkan hak-haknya.

Proses sidang daring di tengah pandemi menjadi hal yang umum, namun kondisi seperti ini juga membawa tantangan tersendiri. Kesulitan beradaptasi dengan teknologi, minimnya interaksi, dan ruang pribadi yang terbatas sering kali menciptakan hambatan. Dalam situasi ini, hak atas keadilan harus tetap diutamakan.

Ketidakpuasan Ammar terhadap sistem sidang daring bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga tentang hak untuk mendapatkan pembelaan yang optimal. Situasi ini menjadi gambaran jelas bagaimana sistem peradilan harus beradaptasi dengan kebutuhan individu yang terlibat.

Jika sidang dapat dilakukan secara offline, hal ini akan memudahkan interaksi antara Ammar dan penasihat hukumnya. Ini juga berpotensi memberikan efek positif bagi kelihaian tim hukum dalam menyampaikan argumen dan membangun ekspektasi yang lebih baik selama persidangan.

Harapan Ammar dan timnya mungkin menjadi pelajaran penting mengenai transparansi dan keadilan dalam sistem hukum Indonesia. Proses hukum harus sejalan dengan hak mendasar setiap individu, terutama mereka yang sedang menghadapi tantangan berbilang seperti dalam kasus ini.

Dengan berjalannya waktu, Ammar dan semua pihak yang terlibat dapat berdoa dan berusaha agar proses peradilan ini berlangsung fair dan adil. Mereka memerlukan semua dukungan untuk menghadapi tantangan yang ada dan menyambut masa depan yang lebih baik.

Berita Terkait

Back to top button