
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) baru-baru ini mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai royalti digital yang belum diklaim. Mereka mencatat dana mencapai Rp24 miliar berasal dari puluhan ribu lagu yang tidak memiliki pencipta terdaftar di Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Data ini disampaikan dalam Rapat Badan Legislasi DPR RI yang membahas Harmonisasi RUU Hak Cipta di Jakarta. Komisioner LMKN, Ahmad Ali Fahmi, menegaskan pentingnya perlindungan hak ekonomi para pencipta lagu. Menurutnya, banyak pencipta lagu yang hak-haknya masih belum terlindungi. "Kita baru dapat informasi royalti yang belum diklaim Rp24 miliar di digital," kata Ali.
Regulasi Baru untuk Royalti Lagu yang Tidak Terklaim
Ali Fahmi juga menjelaskan bahwa banyak lagu yang tidak memiliki klaim adalah karya lama. Salah satunya adalah lagu tradisional seperti “Cublek-Cublek Suweng.” Lagu-lagu ini muncul royaltinya karena penggunaan yang terus berlanjut. Pengelolaan dana royalti tak bertuan kini memiliki dasar hukum melalui Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025.
Dalam regulasi ini, terdapat beberapa ketentuan yang harus dipatuhi oleh LMKN. Pertama, LMKN wajib mengumumkan lagu-lagu yang penciptanya belum terdaftar. Kedua, dana royalti harus disimpan maksimal selama dua tahun. Ketiga, dana tersebut akan diserahkan jika pencipta lagu akhirnya ditemukan. "Kalau memang nanti ada orangnya, dia bisa klaim," tambah Ali Fahmi.
Ia menegaskan bahwa dana yang tidak bisa diklaim tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain. Dana tersebut hanya dapat dimanfaatkan untuk mendukung program pemberdayaan musik. Namun, batas penggunaan maksimal adalah 8 persen.
Ribuan Musisi Independen Belum Masuk Database Platform Musik Digital
Ali Fahmi juga mengangkat isu perlindungan hak cipta di era digital. Ia mencatat banyak musisi independen yang masih kesulitan mengklaim royalti dan hak ekonomi. Hal ini disebabkan oleh ketidak terdaftarannya mereka di LMK dan tidak adanya kerja sama dengan label besar. "Ribuan orang ini tidak bisa mengklaim lagunya karena praktik bisnis di lapangan," ujarnya.
Ali mengungkapkan bahwa platform musik digital lebih mengutamakan entitas besar, seperti label yang telah lama eksis. "Label-label ini menguasai jutaan database lagu," katanya. Potensi royalti yang tidak dapat diklaim dapat mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah per tahun. Hal ini jika dihitung dari seluruh platform digital yang ada.
Sebagai solusi, LMKN mengusulkan pembentukan badan atau LMK khusus untuk menangani hak ekonomi. Badan ini diharapkan dapat mengatasi karya yang tidak dijangkau oleh UU Hak Cipta. Usulan ini dianggap lebih efektif daripada memasukkan pengaturan baru dalam revisi UU Hak Cipta. "Kami mau usulkan bahwa harus ada badan atau LMK tersendiri untuk mengurusi hak ekonomi," tutup Ali Fahmi.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa banyak karya yang berpotensi memberikan royalti belum sepenuhnya terlindungi. Upaya untuk menciptakan regulasi yang lebih baik dan memberikan perlindungan kepada pencipta lagu harus menjadi fokus utama. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan hak ekonomi para pencipta lagu dapat terlindungi dan dikelola dengan baik di era digital ini.
Baca selengkapnya di: www.medcom.id




