Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersiap untuk berpidato di Majelis Umum PBB pada Jumat, 27 September 2025, di tengah meningkatnya tekanan internasional terkait konflik yang berkobar di Gaza. Situasi di wilayah tersebut semakin memanas dengan munculnya tuduhan kejahatan perang terhadap Israel, yang memicu kemarahan di berbagai belahan dunia.
Pidato ini datang setelah adanya pengakuan resmi terhadap negara Palestina dari sejumlah negara, termasuk Australia, Kanada, Prancis, dan Inggris. Selain itu, Uni Eropa sedang mempertimbangkan untuk menerapkan sanksi ekonomi terhadap Israel. Ini menjadi tantangan besar bagi Netanyahu yang kini harus menghadapi isolasi diplomatik yang semakin mengkhawatirkan.
Dalam beberapa pekan terakhir, Majelis Umum PBB juga mengesahkan resolusi tidak mengikat yang mendesak Israel untuk berkomitmen pada pembentukan negara Palestina, namun Netanyahu telah menolak resolusi tersebut. Situasi semakin kompleks dengan keluarnya surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap Netanyahu atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, serta penyelidikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) terkait tuduhan genosida di Gaza.
Sebelum keberangkatannya ke New York, Netanyahu berjanji untuk mengungkap “kebenaran Israel” dalam pidatonya. “Saya akan mengutuk pemimpin yang, alih-alih mengecam para pembunuh, justru ingin memberi mereka sebuah negara di jantung Israel,” ungkapnya. Dengan tegas, Netanyahu juga menolak solusi dua negara, menyatakan bahwa pendirian negara Palestina hanya akan menguntungkan Hamas. “Ini tidak akan terjadi,” tegasnya.
Konflik di Gaza telah menewaskan lebih dari 65.000 warga Palestina, mengakibatkan 90 persen dari populasi di wilayah tersebut terpaksa mengungsi, dan memicu krisis kemanusiaan yang parah. Serangan balasan Israel menyusul serangan oleh Hamas yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel serta menyandera lebih dari 250 orang.
Israel tetap didukung oleh Amerika Serikat, meskipun ada tanda-tanda bahwa dukungan tersebut mungkin mulai berkurang. Mantan Presiden Donald Trump bahkan menegaskan bahwa ia tidak akan mendukung langkah Israel untuk mencaplok Tepi Barat yang diduduki. Ini menunjukkan adanya ketegangan dalam aliansi kuat antara Israel dan AS.
Sementara itu, di sisi lain, Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, juga memberikan pidato melalui video di Majelis Umum dan mengingatkan bahwa dunia harus mengambil tindakan lebih lanjut untuk mendukung hak-hak rakyat Palestina. Abbas menegaskan bahwa Palestina tetap berkomitmen pada cita-cita solusi dua negara, dengan harapan menjadikan Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur sebagai wilayah negara masa depan mereka.
Kondisi yang diciptakan oleh konflik ini tidak hanya mempengaruhi hubungan internasional Israel tetapi juga semakin memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza. Dalam konteks ini, pidato Netanyahu di PBB bukan hanya menjadi seruan politik, tetapi juga ujian bagi diplomasi internasional serta komitmen untuk mencapai keadilan dan perdamaian di wilayah yang semakin terisolasi ini.
