Mantan PM Inggris Tony Blair Pimpin Pemerintahan Transisi Gaza?

Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, akan memimpin pemerintahan transisi Jalur Gaza setelah konflik yang berkepanjangan. Penunjukan Blair sebagai pemimpin Otoritas Transisi Internasional Gaza (GITA) telah mendapat dukungan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta pemimpin negara-negara Teluk. Ini menjadi langkah signifikan dalam upaya merekonstruksi dan menata kembali pemerintahan Gaza setelah perang.

GITA direncanakan akan menjalankan mandat PBB sebagai otoritas politik dan hukum tertinggi di Gaza dengan periode kepemimpinan selama lima tahun. Rencana ini mirip dengan pemerintahan internasional yang sebelumnya diterapkan di Timor Timur dan Kosovo, ketika wilayah tersebut berada dalam proses transisi menuju status negara merdeka. Jika GITA terealisasi, operasionalnya rencananya akan berpusat di Mesir sebelum secara resmi beroperasi di Gaza, dengan pengawalan dari pasukan multinasional guna memastikan stabilitas.

Blair, yang sebelumnya memiliki pengalaman signifikan dalam kebijakan luar negeri, diharapkan dapat menangani situasi yang kompleks di Gaza, terutama dalam konteks transisi politik. Pihak-pihak terkait, termasuk Amerika Serikat, terdapat dalam diskusi tingkat tinggi untuk membahas masa depan Gaza dalam kerangka perundingan damai. Dalam konteks ini, tentu saja, peran Hamas sebagai kelompok yang memerintah Gaza saat ini akan menjadi tantangan, di mana Blair menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk memindahkan warga Gaza dari tempat tinggal mereka.

Ditambahkan bahwa pada pertemuan di Gedung Putih, Blair dan Trump membahas berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menstabilkan Gaza. Walaupun belum banyak informasi yang dirilis ke publik, utusan khusus Trump, Steve Witkoff, menyebutkan bahwa diskusi ini sangat komprehensif. Dalam waktu yang sama, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan Trump dan pemimpin dunia lainnya dalam menerapkan rencana solusi dua negara, sambil tetap menolak peran Hamas dalam pemerintahan di Gaza.

Sejak terjadinya konflik antara Hamas dan Israel pada 7 Oktober 2023, berbagai usulan telah muncul untuk masa depan Gaza. Salah satu rencana kontroversial yang diusulkan oleh Donald Trump sebelumnya mencakup peng relocating warga Gaza ke negara-negara lain, yang dengan cepat ditolak oleh berbagai negara Arab dan Muslim. Rencana tersebut dianggap melanggar hukum internasional dan tidak dapat diterima oleh masyarakat internasional.

Pada Maret, muncul penolakan dari AS dan Israel terhadap rencana rekonstruksi Gaza yang diusulkan oleh negara-negara Arab. Sementara pihak Otoritas Palestina dan Hamas sendiri menyambut usulan tersebut, dengan harapan agar Gaza dipimpin oleh komite ahli independen dan melibatkan pasukan penjaga perdamaian internasional.

Dalam perkembangan lebih lanjut, konferensi internasional yang diadakan pada bulan Juli di New York menghasilkan Deklarasi New York, yang salah satu isinya adalah pembentukan komite pemerintahan transisi untuk Gaza. Ini menunjukkan adanya konsensus global mengenai perlunya langkah-langkah konkret dalam menstabilkan kawasan tersebut. Resolusi untuk mengadopsi Deklarasi New York didukung oleh 142 negara anggota Majelis Umum PBB, menandai adanya dukungan internasional yang luas untuk inisiatif ini.

Perjalanan politik Gaza ke depan menghadapi banyak tantangan, namun penunjukan Tony Blair sebagai pemimpin transisi memberikan harapan baru untuk stabilitas di kawasan. Fokus utama saat ini akan tertuju pada bagaimana GITA dapat menjalankan mandatnya dan menyiapkan Gaza menuju pemerintahan yang lebih inklusif dan berkelanjutan di masa depan.

Src: https://www.inews.id/news/internasional/mantan-pm-inggris-tony-blair-akan-pimpin-pemerintahan-transisi-gaza/all

Exit mobile version