Di panggung Sidang Umum PBB ke-80, Presiden Kolombia Gustavo Petro menjadi sorotan utama dengan pidatonya yang berapi-api dan penuh kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Ia menuduh mantan Presiden Donald Trump sebagai “kaki tangan genosida” di Gaza, mengklaim bahwa AS memberikan persetujuan atas tindakan kekerasan Israel terhadap Palestina. Pidato ini mengguncang ruang sidang dan memicu aksi walk out oleh delegasi AS, yang menolak untuk mendengarkan lebih lanjut.
Petro menyoroti kebijakan luar negeri yang dipimpin Trump, menyatakan, “Dia tidak berbicara tentang demokrasi atau krisis iklim. Dia hanya mengancam dan membunuh.” Dalam konteks ini, ia melontarkan pernyataan keras mengenai penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina, menyebutnya sebagai genosida yang harus dihentikan. “Genosida harus dihentikan dengan suara Majelis PBB,” terang Petro, menyerukan intervensi bersenjata internasional untuk menyelamatkan Palestina dari kekerasan berkelanjutan.
Pidato Petro ini tidak hanya mencoreng muka AS, tetapi juga menunjukkan sikapnya yang tegas terhadap ketidakadilan yang dialami oleh umat manusia di berbagai belahan dunia. Dengan mengajak negara-negara dari Asia, Slavia, dan Amerika Latin untuk bersatu dalam misi militer guna membebaskan Palestina, ia menegaskan bahwa jalur diplomasi telah gagal. “Kita harus membebaskan Palestina; saatnya untuk pedang kebebasan atau kematian Bolívar,” serunya dalam nada penuh semangat.
Kontroversi di sekitar pidatonya tidak berhenti pada kritik terhadap Trump. Ia juga mengarahkan perhatian pada NATO, menuduh organisasi tersebut berkontribusi pada tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Dalam pandangannya, tidak ada bangsa yang lebih unggul dan semua manusia memiliki hak yang sama, terlepas dari latar belakang atau kebangsaan. “Tak ada ras yang unggul, dan umat pilihan Tuhan adalah seluruh umat manusia,” tegasnya.
Sebelum pidato ini, beberapa pemimpin negara lain, termasuk Presiden Indonesia Prabowo Subianto, juga menarik perhatian dengan gestur dan pernyataan anti-Israel, tetapi pidato Gustavo Petro terlihat jauh lebih ekstrem dan tanpa kompromi. Ini menciptakan momen diplomatik yang tegang dan menandakan pergeseran sikap global terhadap konflik yang berkepanjangan di Gaza.
Gustavo Petro, presiden kiri pertama Kolombia, dikenal karena perjalanan politiknya yang tidak konvensional. Sebelumnya, ia terlibat dalam kelompok gerilya Marxis dan pernah dipenjara. Komitmennya untuk mempromosikan perdamaian dan keadilan sosial telah melandasi karir politiknya, yang kini memuncak pada sikap berani dan tegas dalam forum internasional.
Dengan semua kontroversi yang diciptakannya, pidato Petro di PBB ini tidak hanya menjadi momen penting bagi Kolombia, tetapi juga bagi panggung politik global. Suaranya yang keras mengingatkan dunia akan perlunya tindakan nyata dalam menghadapi ketidakadilan dan kekerasan. Tidak dapat disangkal bahwa keberanian Petro dalam menyuarakan pendapatnya akan terus diingat dan menjadi bahan diskusi di masa yang akan datang.
Sementara PBB dan masyarakat internasional terus berdebat tentang cara menanggapi konflik di Gaza, pidato Gustavo Petro mengisyaratkan bahwa suara yang keras dan tegas dari pemimpin dunia diperlukan untuk mendorong perubahan nyata dan menyelamatkan nyawa yang terancam.
Src: https://www.suara.com/news/2025/09/26/112556/bukan-prabowo-pidato-presiden-kolombia-gustavo-petro-paling-keras-sampai-as-walk-out?page=all
