Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, baru-baru ini ditunjuk sebagai pemimpin transisi Gaza, sebuah posisi yang berpotensi membawa dampak besar di kawasan yang dilanda konflik ini. Penunjukan Blair muncul dalam konteks proposal Amerika Serikat untuk membentuk Badan Internasional Transisi Gaza (GITA) yang akan mengawasi rekonstruksi dan pemerintahan sementara pasca-konflik antara Israel dan Hamas. Keputusan ini diambil di tengah sorotan tajam karena kontroversi yang menyelimuti reputasi Blair, termasuk posisinya yang dianggap pro-Israel dan keterlibatannya dalam Perang Irak.
Menurut laporan BBC, GITA akan bertugas untuk menangani berbagai aspek rekonstruksi Gaza, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga distribusi bantuan kemanusiaan, serta persiapan pemilu demokratis untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan Hamas. Dukungan kuat terhadap penunjukan Blair datang dari Presiden AS, Donald Trump, yang menyebut Blair sebagai sosok berpengalaman yang dapat menangani situasi rumit di Timur Tengah. Di sisi lain, PM Israel, Benjamin Netanyahu, telah menyatakan bahwa Israel harus mempertahankan kendali atas keamanan wilayah tersebut.
Namun, penunjukan ini tidak lepas dari kritik. Banyak pihak, termasuk dari kalangan Palestina dan negara-negara Arab, mempertanyakan netralitas Blair. Sosok yang terkenal dalam sejarah politik Inggris ini memiliki rekam jejak yang kompleks. Lahir pada 6 Mei 1953 di Edinburgh, Skotlandia, Blair merupakan tokoh politik yang berpengaruh di akhir abad ke-20. Pendidikan dan latar belakangnya sebagai pengacara, serta keterlibatan dalam partai buruh, membawanya ke kursi kekuasaan tertinggi di Inggris.
Blair menjabat sebagai Perdana Menteri dari 1997 hingga 2007, di mana ia memimpin pemerintahan selama periode pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun, kebijakan luar negeri yang dipimpinnya, terutama keterlibatannya dalam Perang Irak pada 2003, telah menggores banyak kritikan. Keputusan tersebut didasarkan pada alasan yang kemudian terbukti tidak berdasar, menyebabkan Blair banyak dijuluki “Bliar” oleh para pengkritiknya. Sementara itu, salah satu prestasi positifnya adalah peran kunci dalam Perjanjian Good Friday 1998 yang berhasil meredakan ketegangan di Irlandia Utara.
Setelah mundur dari jabatan Perdana Menteri, Blair melanjutkan kariernya sebagai utusan khusus untuk Kuartet Timur Tengah dari 2007 hingga 2015. Dalam kapasitas ini, ia berfokus pada pembangunan ekonomi Palestina dan memfasilitasi negosiasi perdamaian antara Israel dan Palestina. Pengalaman yang dimilikinya di kawasan ini dianggap membeberikan keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankan GITA.
Penting untuk dicatat bahwa kritik terhadap Blair berlanjut hingga kini, terutama terkait evaluasi atas kebijakannya di Timur Tengah. Dengan usianya yang kini mencapai 72 tahun, Blair masih aktif dalam kancah politik dunia melalui Tony Blair Institute for Global Change, yang menyediakan konsultasi kepada berbagai pemerintah tentang reformasi dan pembangunan.
Jika proposal penunjukan Blair terwujud, ia akan menghadapi tantangan besar dalam menjalankan peran barunya. Selain harus memperbaiki infrastruktur yang hancur akibat konflik, ia juga perlu menjamin keamanan dan memfasilitasi transisi kekuasaan yang damai di Gaza. Keterlibatannya di GITA, jika berjalan sesuai rencana, bisa menjadi babak baru dalam karir Blair atau justru menambah kekacauan dalam dinamika politik di Timur Tengah.
Dengan latar belakang dan pengalamannya, Blair masih dianggap sebagai sosok yang berpengaruh, meskipun kontroversinya terus mengundang perdebatan. Pemilihan Blair sebagai pemimpin transisi di Gaza menandai langkah signifikan dan bisa saja mereformasi cara komunitas internasional melihat peran dan tanggung jawab pihak luar dalam menyelesaikan konflik di kawasan tersebut.
Src: https://www.suara.com/news/2025/09/28/133859/siapa-tony-blair-mendadak-ditunjuk-jadi-pemimpin-transisi-gaza?page=all
