Rancangan usulan pembentukan badan pemerintahan pascaperang di Jalur Gaza telah memicu kekhawatiran di kalangan tokoh Palestina. Dokumen rahasia yang bocor ini menunjukkan rencana untuk mendirikan Otoritas Transisi Internasional Gaza (GITA) di bawah pimpinan pemimpin asing, di mana mayoritas anggotanya bukan berasal dari Palestina. Rencana ini menciptakan kekhawatiran akan hilangnya kontrol dan kedaulatan Palestina atas wilayahnya sendiri.
Berdasarkan dokumen setebal 21 halaman yang telah diverifikasi oleh The Guardian dan Haaretz, GITA diusulkan memiliki dewan yang terdiri dari tujuh hingga sepuluh anggota. Hanya satu anggota yang akan berasal dari Palestina, dan itu pun mencakup individu dari sektor bisnis atau keamanan. Hal ini menjadi perhatian serius bagi banyak pihak, terutama mengingat dewan tersebut akan memiliki kewenangan besar untuk mengeluarkan keputusan yang mengikat dan menetapkan undang-undang.
Xavier Abu Eid, mantan anggota tim negosiasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengemukakan keprihatinannya. Ia menyatakan, “Anda akan memiliki dewan dengan mayoritas anggota asing yang membuat undang-undang untuk warga Palestina di Gaza.” Pendapat ini mencerminkan kekhawatiran besar akan terjadinya pemisahan politik antara Gaza dan Tepi Barat.
Nama-nama yang diusulkan untuk menjabat sebagai ketua GITA, termasuk mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, miliarder Mesir Naguib Sawiris, dan lainnya, menambah kontroversi. Seorang sumber dekat Tony Blair menegaskan bahwa ia tidak mendukung penggusuran penduduk Gaza dan prinsip panduannya adalah bahwa Gaza harus untuk warga Gaza. Di sisi lain, beberapa tokoh Palestina menunjukkan penolakan tegas terhadap keterlibatan Blair, mengingat reputasinya yang buruk di mata masyarakat Palestina.
Kritik juga dilontarkan oleh Mustafa Barghouti, Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina. Ia mengungkapkan ketidakpuasannya dengan menyebut bahwa keterlibatan Blair hanya akan memperburuk situasi. “Kita sudah berada di bawah kolonialisme Inggris. Dia punya reputasi negatif di sini,” katanya, merujuk pada ingatan akan Perang Irak yang masih membekas di benak masyarakat.
Rancangan ini muncul di tengah perkembangan terkini dalam diplomasi AS-Israel, terutama menjelang pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Trump telah mengungkapkan optimisme mengenai kemajuan negosiasi dan menjanjikan gencatan senjata, pembebasan sandera, serta penarikan bertahap pasukan Israel. Namun, banyak skeptisisme tetap ada, terutama di kalangan warga Palestina yang merasa diabaikan dalam proses yang seharusnya melibatkan mereka.
Sumber yang terlibat dalam penyusunan dokumen menyatakan bahwa nama-nama yang disebutkan tidak memiliki persetujuan langsung dari mereka, menunjukkan kemungkinan adanya kesalahpahaman atau distorsi dalam penyampaian informasi. Dokumen yang bocor ini menyoroti ketegangan seputar isu-isu Palestina dan memperlihatkan bagaimana intervensi luar dapat memengaruhi dinamika dalam pemerintahan Gaza.
Ke masa depan yang tidak pasti bagi Gaza, kepercayaan antara warga Palestina dan dunia internasional semakin menipis. Tantangan untuk membangun kembali Gaza setelah konflik tidak semata-mata berkaitan dengan infrastruktur fisik, tetapi juga dengan integritas politik dan kemauan kolektif untuk memastikan bahwa suara rakyat Palestina tetap diutamakan. Dalam pengaturan yang diusulkan, tampaknya ada potensi untuk mengabaikan agen lokal yang tak terhindarkan, menciptakan tantangan bagi upaya pembangunan jangka panjang.
Dengan semua perdebatan ini, penting bagi komunitas internasional dan para pemangku kepentingan untuk mendengarkan suara rakyat Gaza, agar solusi yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Source: mediaindonesia.com





