Taiwan kini menghadapi kritik tajam akibat ketergantungannya dalam mengimpor nafta dari Rusia, satu kondisi yang mencerminkan ambivalensi dalam kebijakan luar negerinya. Dalam enam bulan pertama tahun ini, Taiwan tercatat mengimpor nafta senilai US$1,3 miliar dari Rusia, menjadikannya sebagai pembeli terbesar. Meskipun Taiwan jelas-jelas menolak invasi Rusia ke Ukraina dan mendukung sanksi internasional terhadap Moskow, data ini menunjukkan adanya kontradiksi antara sikap politik dan realitas ekonomi.
Ketergantungan Taiwan pada energi Rusia menjadi perhatian serius. Laporan dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mencatat bahwa Taiwan telah menghabiskan lebih dari US$4,9 miliar untuk produk turunan minyak dari Rusia sejak awal invasi ke Ukraina pada 2022. Legislator Partai Progresif Demokratik, Puma Shen, menyuarakan keprihatinan bahwa ketergantungan ini dapat mengancam keamanan nasional Taiwan, mengingat hubungan strategis antara China dan Rusia. China, yang mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri, tentu saja berpotensi memengaruhi pasokan energi yang krusial bagi Taipei.
Nafta sendiri adalah komponen vital dalam industri petrokimia Taiwan, digunakan secara luas untuk memproduksi material dasar dalam pembuatan komponen elektronik dan semikonduktor. Kenaikan jumlah impor, di mana pada paruh pertama tahun 2025 Taiwan membeli hingga 1,9 juta ton naphtha dari Rusia, menunjukkan lonjakan sebesar hampir enam kali lipat dibandingkan rata-rata tahun 2022. Hal ini mencerminkan semakin dalamnya ketergantungan sektor kunci perekonomian Taiwan pada bahan baku yang berasal dari negara yang dipandang sebagai agresor oleh banyak negara Barat.
Pihak pemerintah Taiwan berusaha menanggapi kritik tersebut. Menteri Luar Negeri Taiwan, Lin Chia-lung, yang baru saja menyelesaikan kunjungan ke Eropa, menyerukan kepada negara-negara demokratis untuk bersatu dan mengembangkan rantai pasokan yang independen dari pengaruh Rusia. Namun, meskipun Taiwan bergabung dalam sanksi melawan Rusia, mayoritas pembelian bahan bakar fosil dari negara tersebut tetap berlangsung. Kementerian Urusan Ekonomi Taiwan sebelumnya mengonfirmasi bahwa perusahaan milik negara tidak membeli minyak mentah Rusia sejak tahun ini, tetapi tidak menyertakan larangan serupa untuk nafta.
Tekanan dari pihak Amerika Serikat semakin memperkeruh situasi ini. Dikenal sebagai pengkritik keras negara-negara yang masih mengakui perdagangan dengan Rusia, Presiden AS Joe Biden telah memperingatkan tentang konsekuensi yang mungkin dihadapi negara-negara tersebut. Hal ini semakin menambah tekanan pada pemerintah Taiwan yang saat ini harus mempertimbangkan reputasi internasional dan kerjasama dengan mitra demokratisnya.
Anak perusahaan Formosa Petrochemical pun menjadi sorotan. Meskipun CPC, badan migas nasional, telah menghentikan impor naphtha dari Rusia, Formosa tercatat meningkatkan ketergantungan pada naphtha Rusia dari 9% sebelum invasi menjadi 90% pada semester pertama 2025. Meskipun Formosa menegaskan bahwa semua proses pengadaan dilakukan melalui tender terbuka dan sesuai sanksi internasional, fakta ini masih memicu kekhawatiran tentang dampak negatif terhadap posisi Taiwan di panggung internasional.
Direktur Yayasan Hak Lingkungan Taiwan, Hsin Hsuan Sun, menekankan pentingnya bagi Taiwan untuk menyusun strategi yang jelas guna menghentikan ketergantungan pada energi Rusia. Saran ini sejalan dengan pandangan yang berkembang bahwa Taiwan tidak seharusnya menjadi penyokong bagi “mesin perang Kremlin”.
Dengan latar belakang ini, Taiwan harus menghadapi dilema yang rumit: menyeimbangkan kepentingan ekonomi domestik dan tekanan internasional, sambil tetap berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi dan kebebasan yang dijunjung tinggi oleh pemerintahnya.
Source: mediaindonesia.com





