Di Hutan Mirama, Distrik Ntungamo, Uganda, ratusan warga berkumpul dengan harapan tinggi untuk menyambut ramalan hari kiamat yang diprediksi terjadi pada 23–24 September 2025. Mereka, yang sebagian besar adalah umat Kristen, rela meninggalkan rumah, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari demi satu tujuan: menyaksikan momen yang diwarnai dengan ajaran seorang pastor kontroversial bernama Joshua Mhlakela. Keberanian mereka dipicu oleh klaim Mhlakela yang menyatakan bahwa “rapture” atau pengangkatan ke surga akan segera terjadi.
Sebagian besar pengikutnya percaya bahwa berkumpul dan berdoa di hutan akan membawa mereka diangkat ke langit saat kembalinya Yesus Kristus. Video yang tersebar di media sosial menunjukkan suasana haru dan khusyuk, di mana umat dengan penuh penghayatan berdoa dan memuji. Mereka terlihat berkemah dengan barang-barang seadanya, seperti tas tangan dan ponsel, seolah-olah hidup di dunia yang akan segera berakhir. Bagi mereka, saat itu, dunia material sudah tidak berarti lagi—banyak yang bahkan menjual harta benda mereka.
Namun, harapan yang membara ini berujung pada kekecewaan yang dalam. Tanggal yang diprediksi berlalu tanpa adanya kejadian yang sesuai ramalan. Kegagalan ramalan ini memicu banyak perdebatan di media sosial. Tidak sedikit yang mengingatkan akan risiko munculnya nabi palsu yang berusaha memanfaatkan keyakinan umat untuk kepentingan pribadi.
Pastor Joshua Mhlakela, meskipun ramalannya gagal, tetap bersikukuh akan kebenaran visinya, mengatakan bahwa peristiwa tersebut akan tetap terjadi meski tidak sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Hal ini menimbulkan kegundahan di kalangan kritikus, yang melihat adanya pola berbahaya dari ajaran-ajaran serupa di masa lalu. Mereka mengingat tragedi Pembantaian Kanungu pada tahun 2000, ketika ratusan anggota sekte tewas setelah mengikuti ramalan yang juga tidak terwujud.
Perdebatan ini semakin kompleks dengan merujuk pada ajaran Alkitab itu sendiri. Dalam Matius 24:36, tertulis bahwa “tidak ada seorang pun yang tahu tentang hari dan jam itu, bahkan para malaikat di surga sekalipun.” Pernyataan tersebut menjadi peringatan bagi banyak orang tentang bagaimana umat bisa terjebak dalam pengaruh yang salah.
Kejadian di Hutan Mirama ini menggambarkan betapa rentannya masyarakat terhadap ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat, yang berpegang teguh pada iman, terkadang dapat menjadi sasaran empuk bagi mereka yang mengklaim memiliki wahyu langsung dari Tuhan. Dampak dari kejadian ini mungkin akan berlanjut, menghasilkan pembelajaran bagi umat bahwa pengharapan harus selalu dibimbing dengan pengetahuan dan akal sehat.
Adanya tren ramalan kiamat semacam ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang mencari jawaban dan harapan dalam konteks dunia yang kian tak menentu. Memang, banyak yang ingin menjadikan keyakinan sebagai pengantar untuk meraih kedamaian, tetapi dalam prosesnya, mereka sering kali kehilangan arah. Situasi ini mendorong kita untuk kembali menilai bagaimana ajaran agama dipahami dan diterapkan di masyarakat.
Kejadian seperti ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak—baik pemimpin agama maupun pengikutnya—untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan atau menerimanya. Kesadaran dan pendidikan tentang literasi agama akan sangat membantu masyarakat untuk tidak mudah diperdaya oleh ramalan-ramalan yang tidak terverifikasi. Selanjutnya, ini menjadi tantangan bagi setiap individu untuk membangun keyakinan yang tidak hanya mengandalkan pesan dari satu sumber, tetapi juga disertai dengan diskusi dan pemahaman yang lebih dalam.
Source: www.suara.com
