Perang saudara di Myanmar mengalami peningkatan kekerasan yang signifikan, dengan serangan udara yang masif oleh junta militer makin mengguncang kehidupan warga sipil. Dalam kondisi tersebut, ribuan warga, termasuk siswa, terpaksa mencari perlindungan di bunker bawah tanah untuk menghindari serangan yang terus menerus. Situasi ini telah menciptakan suasana ketakutan yang mendalam di kalangan masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
Salah satu contoh nyata dari dampak konflik ini adalah kisah Phyo Phyo, seorang siswi berusia 18 tahun. Dalam sebuah laporan oleh AFP, Phyo Phyo menceritakan bagaimana ia dan teman-temannya harus berdoa sebelum memasuki kelas yang kini telah diubah menjadi bunker. “Semoga jet tempur tidak datang. Semoga para pilot menunjukkan belas kasih kepada kami,” ungkapnya. Harapan tersebut sering kali hancur ketika suara ledakan dan deru pesawat tempur menjadi musik harian mereka.
Bunker tersebut dibangun pada bulan Juni lalu setelah serangan militer yang mengejutkan menghancurkan sekolah terdekat, mengakibatkan 20 siswa dan dua guru kehilangan nyawa. Kini, ruang belajar yang lembap dan gelap itu menjadi satu-satunya tempat aman bagi 12 siswa di akademi bawah tanah tersebut. “Dahulu sekolah penuh keceriaan. Sekarang, semua berubah. Kami kehilangan kebahagiaan,” kata Phyo Phyo dengan nada pilu.
Lokasi tempat tinggalnya terletak sekitar 110 kilometer di utara Mandalay, di daerah yang berada di bawah kendali kelompok pemberontak. Di atas langit, jet-jet tempur buatan Rusia dan Cina bolak-balik mencari target, menambah ketegangan yang sudah mencekam. Sejak kudeta militer pada tahun 2021, junta Myanmar telah meningkatkan frekuensi serangan udara dan drone untuk menghancurkan kelompok gerilya yang melawan mereka.
Menurut data yang dilansir oleh Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), dalam periode musim hujan yang berlangsung dari Mei hingga September 2025, tercatat telah terjadi lebih dari 1.000 serangan udara yang menyebabkan sekitar 800 kematian. Angka ini mencerminkan escalasi kekerasan yang tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Junta militer kini tengah melancarkan operasi besar menjelang pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada 28 Desember 2025. Namun, faksi-faksi pemberontak bersumpah untuk menghalangi proses pemungutan suara di wilayah yang mereka kuasai, mengklaim bahwa pemilu tersebut hanya merupakan taktik untuk memperpanjang kekuasaan militer. Keadaan ini memunculkan pertanyaan yang mendalam tentang masa depan demokrasi di Myanmar.
Kondisi yang dihadapi oleh Phyo Phyo dan rekan-rekannya menjadi gambaran mengerikan dari dampak perang yang berkepanjangan. Mereka terpaksa menjalani keseharian dalam ketakutan, dengan pendidikan yang terhambat dan harapan yang semakin menipis. Keterasingan dari dunia luar dan kehilangan rutinitas normal menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai organisasi hak asasi manusia mendesak komunitas internasional untuk memberikan perhatian lebih terhadap krisis kemanusiaan yang berlangsung di Myanmar. Tindakan cepat dan solidaritas global diperlukan untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban jiwa dan untuk memastikan bahwa suara-suara yang tertekan dapat didengar kembali.
Dengan situasi yang semakin memburuk, tindakan tegas diperlukan dalam merespons krisis ini. Perang yang berkepanjangan membuat generasi muda seperti Phyo Phyo kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik, menggantungkan harapan pada secercah terang di tengah kegelapan yang menyelimuti. Ketahanan mereka dalam menghadapi ketidakpastian ini menjadi cerminan dari semangat juang rakyat Myanmar untuk mencapai hidup yang lebih baik, terlepas dari tantangan berat yang mereka hadapi.
Source: www.beritasatu.com





