Tragedi mengerikan mewarnai Festival Bulan Purnama Thadingyut di Myanmar pada 6 Oktober 2025, ketika Junta Myanmar menjatuhkan bom ke kerumunan yang terdiri dari para warga sipil, termasuk anak-anak. Serangan yang brutal ini mengakibatkan setidaknya 40 orang tewas dan 80 lainnya terluka, sebuah tindakan yang tidak hanya menimbulkan duka mendalam, tetapi juga menyoroti ketegangan yang terus berkecamuk di negara tersebut.
Festival Bulan Purnama Thadingyut sebenarnya adalah perayaan keagamaan, tetapi pada saat bersamaan, juga dijadikan sebagai bentuk protes damai melawan kekuasaan militer yang telah mengambil alih pemerintahan. Perayaan ini berlangsung di Kotapraja Chang U, wilayah Sagaing, yang dikenal sebagai pusat pertempuran antara tentara junta dan kelompok perlawanan. Menurut seorang panitia penyelenggara, sekitar pukul 19.00 waktu setempat, orang-orang berkumpul untuk merayakan sembari mengekspresikan penolakan terhadap junta. Tiba-tiba, pesawat paramotor menjatuhkan bom, menimbulkan kepanikan di antara kerumunan.
Sungguh suram melihat bagaimana sekitar sepertiga dari peserta acara berhasil melarikan diri setelah panitia memberikan peringatan. Namun, serangan tersebut sangat cepat dan mematikan. Kekacauan ditingkatkan saat saksi menceritakan bagaimana anak-anak dan orang dewasa hancur berkeping-keping akibat ledakan. Keesokan harinya, pihak berwenang dan panitia berusaha mengumpulkan potongan-potongan tubuh yang tercerai-berai di lokasi kejadiaan.
Peristiwa ini tidak bisa dipandang sebagai insiden terpisah. Sebaliknya, ini mencerminkan konflik berkepanjangan di wilayah Sagaing, di mana pasukan perlawanan, seperti Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), mengambil alih banyak administrasi lokal. Wilayah ini telah menjadi simbol perlawanan terhadap junta setelah kudeta militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Festival ini pun merupakan panggilan untuk pembebasan tahanan politik yang sudah sekian lama terkurung.
Masalah Pemilihan Senjata: Bom Paramotor
Salah satu elemen yang menentukan dari serangan ini adalah penggunaan paramotor atau paraglider bermesin. Dalam setahun terakhir, militer Myanmar mengadopsi strategi baru dengan menggunakan kendaraan udara kecil untuk menjatuhkan bom, sehingga memunculkan pola serangan yang lebih terfokus. Praktik ini menciptakan ketidakpastian di kalangan masyarakat, yang kini harus bersiaga setiap kali mendengar suara khas seperti gergaji mesin.
Sayangnya, pada malam serangan, banyak warga yang teralihkan perhatiannya oleh doa dan nyanyian keras, sehingga mereka tidak menyadari kehadiran paramotor yang sedang mendekat. Kebangkitan kembali metode serangan ini menunjukkan betapa militaristisnya pendekatan junta dalam menghadapi oposisi, termasuk pada saat-saat di mana rakyat sedang merayakan kebudayaan mereka.
Respons Internasional
Serangan ini mengundang kecaman dari berbagai organisasi internasional, seperti Amnesty International, yang menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa. Amnesty juga menyerukan agar Blok ASEAN mengambil langkah lebih tegas untuk meningkatkan tekanan pada junta Myanmar. Respons ini menunjukkan bahwa dunia internasional semakin peduli terhadap situasi yang mengerikan di Myanmar, di mana tindakan kekerasan terus berlanjut tanpa henti.
Menyaksikan tragedi ini, jelas bahwa situasi di Myanmar bukan hanya soal serangan militer, tetapi tentang perjuangan untuk hak asasi manusia dan kebebasan. Dengan adanya serangan ini, dilema kemanusiaan semakin dalam, menantang komunitas global untuk bertindak dan memberikan perlindungan bagi rakyat Myanmar yang terjebak dalam konflik yang tidak berkesudahan.
Source: www.suara.com





