Di tengah gejolak konflik yang berkepanjangan di Gaza, muncul kontroversi mengenai iklan yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Israel di platform Google. Iklan tersebut menyebarkan klaim pemilihan yang dinilai menyesatkan mengenai situasi kelaparan di wilayah itu, yang belakangan ini telah menjadi perdebatan internasional serius. Menurut laporan pemantau kelaparan global yang didukung oleh PBB, situasi kelaparan di Gaza semakin memburuk, namun konten video dari Israel berusaha untuk membantah kehilangan status ini.
Video berjudul "Politisi sinis dan media yang bias berbohong" yang diunggah pada 24 Agustus oleh Kementerian Luar Negeri Israel mengklaim bahwa makanan berlimpah tersedia di Gaza. Penilaian ini ditanggapi dengan serius oleh berbagai pihak, termasuk 27 negara yang menyerukan agar Israel mempercepat bantuan kemanusiaan untuk mengatasi kelaparan yang kian mendesak. Di sisi lain, The Washington Post menginvestigasi materi dalam video tersebut dan menemukan bahwa meskipun tampak ada makanan, sebagian besar warga Gaza tidak mampu membeli karena harga yang sangat tinggi.
Kampanye Iklan yang Kontroversial
Kampanye yang didanai oleh pemerintah Israel ini menggugah perhatian publik luas, dengan versi dalam bahasa Inggrisnya ditonton lebih dari 7 juta kali, sebelum iklan tersebut diputuskan untuk berhenti tayang pada 29 Agustus. Meski menuai banyak keluhan, termasuk dari otoritas pemerintah, pihak Google melalui tim Kepercayaan dan Keamanan mengatakan bahwa iklan tersebut tidak melanggar kebijakan mereka. Hal ini dikarenakan tidak ada konten yang dianggap berbahaya atau merendahkan yang terdapat dalam iklan tersebut.
Sementara itu, analisis oleh beberapa pihak menunjukkan bahwa video-video tersebut memuat informasi yang tidak konsisten dengan fakta di lapangan. Salah satu sumber awal dari konten video itu adalah rekaman yang diambil oleh fotografer lepas Palestina, Majdi Fathi. Ia mengklaim dalam wawancara bahwa meskipun ada sayuran dan buah-buahan yang terlihat, harga mereka terlalu tinggi dan bisa dijangkau hanya oleh segelintir orang.
Tanggung Jawab atas Informasi Misinformasi
Lebih jauh, juru bicara Google, Michael Aciman, menegaskan bahwa perusahaan memiliki kebijakan yang jelas terkait iklan, dan berkomitmen untuk menghapus konten yang melanggar. Namun, banyak kalangan merasa bahwa platform semacam Google berisiko menjadi sarana disinformasi tentang isu-isu krusial, termasuk krisis kemanusiaan. Lektor kepala bidang komunikasi di Universitas Pittsburgh, Sam Woolley, mencatat bahwa negara memang memanfaatkan platform seperti YouTube untuk membentuk opini publik, tetapi risiko penipuan informasi tetap mengancam.
Badan penelitian Polandia, NASK, mengonfirmasi bahwa mereka telah memberitahu Google terkait pelanggaran konten dalam video yang diposting. Walau begitu, Google tetap menolak keluhan tersebut, menandai adanya kesenjangan dalam penerapan kebijakan mengenai konten iklan.
Tantangan Masa Depan bagi Platform Digital
Persoalan ini mencuat dan mencerminkan tantangan besar bagi platform digital dalam mengatur konten iklan. Dengan lebih dari 50.000 keluhan dari masyarakat, kelompok aktivis yang dikenal sebagai No Tech for Apartheid berusaha mendorong perusahaan-perusahaan teknologi untuk lebih bertanggung jawab terhadap produk yang mereka iklankan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin peduli terhadap informasi yang beredar dan dampaknya terhadap persepsi publik akan situasi kemanusiaan.
Di tengah segala kerumitan ini, jumlah investasi Israel untuk iklan di YouTube mencapai sekitar US$45 juta tahun ini. Rencana ini diiringi dengan berbagai strategi komunikasi yang diambil oleh negara-negara lain juga, yang menunjukkan bahwa perang informasi telah menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri dalam konteks konflik global.
Isu ini tentunya memerlukan perhatian lebih, baik dari regulator maupun masyarakat luas, agar informasi yang diterima tetap akurat dan tidak menyesatkan.
Source: mediaindonesia.com





