China ‘Gerah’: PM Baru Jepang Rencanakan Tambah Anggaran Militer

Pemerintah China menunjukkan reaksinya yang tegas terhadap rencana Perdana Menteri Jepang yang baru, Sanae Takaichi, untuk meningkatkan anggaran militer. Beijing mengingatkan Tokyo untuk lebih memahami sejarah agresi militer Jepang di masa lalu. Dalam konferensi pers yang digelar pada 23 Oktober 2025, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menyampaikan, “Tindakan militer dan kebijakan keamanan Jepang akan diawasi ketat oleh negara-negara tetangganya di Asia dan komunitas internasional.”

Rencana peningkatan anggaran pertahanan Jepang ini merupakan bagian dari upaya untuk menyesuaikan kebijakan keamanan menghadapi tantangan kontemporer, termasuk ancaman serangan siber dan penggunaan drone. Menteri Luar Negeri Jepang, Toshimitsu Motegi, menyatakan bahwa negara tersebut berkomitmen untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan agar mampu beradaptasi dengan realitas konflik modern.

Sanae Takaichi, yang menjadi PM perempuan pertama Jepang dan merupakan Ketua Liberal Democratic Party (LDP), dikenal dengan pandangan konservatif dan nasionalis. Di bawah kepemimpinannya, Jepang berencana menaikkan anggaran militer dari 1% menjadi 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, ia berencana mengamandemen Pasal 9 konstitusi yang membatasi Jepang dari memiliki kekuatan tempur.

Guo Jiakun menyoroti bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Jepang telah secara signifikan menyesuaikan kebijakan keamanan dan meningkatkan anggaran pertahanannya. “Ini menimbulkan pertanyaan bagi negara-negara tetangga mengenai komitmen Jepang terhadap kebijakan yang berorientasi pada pertahanan dan pembangunan damai,” katanya. Tahun ini juga menandai peringatan 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Rakyat China Melawan Agresi Jepang, yang semakin memperdalam sentimen sensitif ini.

Pernyataan Guo Jiakun menggarisbawahi kekhawatiran China terhadap langkah-langkah militer Jepang yang dianggap mengancam stabilitas kawasan. Ia mendesak Jepang untuk berpikir kritis tentang sejarah agresinya dan berkomitmen pada jalur yang lebih damai dalam kebijakan luar negerinya. “Kami berharap Jepang menghormati prinsip-prinsip yang tercantum dalam dokumen politik antara kedua negara dan tidak kehilangan kepercayaan negara-negara tetangga,” tegasnya.

Dalam konteks ini, kedudukan diplomatik kedua negara tampak menurun. Berbeda dengan komunikasi sebelumnya di mana Presiden China Xi Jinping mengucapkan selamat kepada para pemimpin Jepang sebelumnya, tidak ada ucapan dari Xi untuk Takaichi. Hal ini mungkin menunjukkan ketegangan yang meningkat antara kedua negara, apalagi di tengah ambisi Jepang memperkuat pertahanannya.

Untuk menghadapi tantangan ekonomi dalam negeri, PM Takaichi juga berjanji untuk menghapus tarif sementara pajak bensin dan menaikkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak. Instruksi ini menunjukkan fokusnya tidak hanya pada aspek pertahanan, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi Jepang di tengah dinamika politik yang berubah.

Di satu sisi, ada harapan dari China agar Jepang dapat bekerja sama dalam membangun hubungan bilateral yang lebih baik dan saling menguntungkan. Namun, di sisi lain, ambisi pertahanan Jepang yang semakin meningkat jelas menjadi sumber ketegangan dalam hubungan Tokyo-Beijing. Ketidakpastian ini berpotensi berdampak pada stabilitas kawasan Asia, yang sudah terpengaruh oleh berbagai isu, termasuk kebangkitan militerisme di negara-negara lain di sekitarnya.

Sebagai langkah lanjutan, perkembangan ini akan terus dipantau secara ketat oleh berbagai pihak baik di Asia maupun dalam komunitas internasional, mengingat implikasi luas yang dihadapi oleh kedua negara.

Source: www.viva.co.id

Berita Terkait

Back to top button