Militer Israel mengumumkan bahwa gencatan senjata kembali berlaku di Gaza pada Rabu (29/10) setelah serangan udara besar-besaran yang menyebabkan tewasnya 104 orang, termasuk 66 wanita dan anak-anak. Serangan tersebut tercatat sebagai yang paling mematikan sejak dimulainya gencatan senjata pada 10 Oktober 2023, meningkatkan ketegangan di kawasan yang sudah rapuh ini.
Menurut pejabat kesehatan setempat, serangan udara yang diluncurkan Israel merupakan respons terhadap dugaan pelanggaran gencatan senjata oleh Hamas. Namun, Hamas membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa Israel adalah pihak yang melanggar kesepakatan dan mengklaim menyerang dengan semena-mena.
Setelah gencatan senjata diumumkan kembali, militer Israel melanjutkan serangan di wilayah utara Gaza, menargetkan lokasi yang dianggap sebagai penyimpanan senjata. Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza melaporkan telah menerima dua jenazah akibat serangan tersebut. Kekerasan terbaru ini kembali memicu kekhawatiran internasional mengenai keberlangsungan gencatan senjata, di tengah upaya Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas.
Presiden AS, Donald Trump, mengakui serangan Israel dan juga menegaskan pentingnya agar eskalasi tidak merusak gencatan senjata. Israel mengklaim tindakan tersebut sebagai balasan atas penembakan dan pembunuhan seorang tentara Israel di Rafah, yang terletak di bagian selatan Gaza. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menjelaskan bahwa Hamas telah melanggar ketentuan terkait penyerahan jenazah sandera, meskipun Hamas membantah terlibat dan sebaliknya menuduh Israel melakukan pelanggaran.
Kekerasan yang sedang berlangsung menimbulkan dampak yang menyedihkan bagi kehidupan masyarakat sipil. Banyak keluarga pengungsi yang kehilangan tempat tinggal setelah serangan menghancurkan bangunan dan kamp tenda. Galangan ambulans dan truk kecil berisi jenazah memenuhi rumah sakit. Saksi mata melaporkan bahwa ada kisah tragis mengenai anak-anak yang tewas dalam serangan tersebut. “Mereka membakar anak-anak saat mereka tidur,” ungkap Haneen Mteir, seorang kerabat korban, menyuarakan kesedihan yang mendalam.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan Palestina, total korban tewas mencapai 104 orang dengan 253 orang lainnya terluka, sebagian besar terdiri dari wanita dan anak-anak. Di tengah kondisi yang semakin memburuk, tanggung jawab militer Israel sebagai pihak yang meluncurkan serangan menjadi sorotan. Mereka mengklaim telah menyerang puluhan target Hamas, termasuk pos pengamatan dan gudang senjata. Sebagian besar dari target yang diserang merupakan anggota Hamas yang terlibat dalam serangan 7 Oktober 2023 yang memicu konflik yang lebih luas.
Serangan ini juga menandai tantangan serius terhadap upaya diplomatik untuk mencapai perdamaian. Banyak pihak, termasuk komunitas internasional, mendesak agar kedua belah pihak menghentikan kekerasan dan kembali pada meja perundingan. Upaya ini menjadi semakin penting mengingat dampak tragis dari konflik yang berlangsung, di mana banyak warga sipil tidak bersalah terjebak dalam pertikaian yang berkepanjangan.
Dengan situasi yang semakin kompleks, masa depan gencatan senjata dan perdamaian di Gaza sangat bergantung pada kemauan kedua pihak untuk mematuhi kesepakatan yang ada. Ketersediaan bantuan kemanusiaan dan upaya untuk pemulihan juga harus diprioritaskan seiring bertambahnya jumlah korban. Ketegangan dan kekerasan yang masih berlangsung menjadi pengingat akan perlunya dialog terbuka untuk mengakhiri siklus kekerasan yang telah berlangsung lama.
Source: mediaindonesia.com
