Sebanyak 121 orang, termasuk empat petugas kepolisian, tewas dalam penggerebekan polisi yang paling mematikan di Brasil. Peristiwa ini terjadi pada 28 Oktober 2025 dan menargetkan kelompok geng Comando Vermelho, yang mengendalikan perdagangan narkoba di favela, kawasan kumuh yang sangat padat penduduk di Rio de Janeiro. Penggerebekan ini meninggalkan jejak kematian yang mengerikan, dengan banyak jenazah ditemukan disertai tanda-tanda penyiksaan.
Penggerebekan ini telah memicu ketegangan di kalangan warga, dengan keluarga para korban berbaris di kamar mayat untuk mengidentifikasi kerabat mereka. Pada Kamis, lebih dari 100 jenazah masih menunggu autopsi dan identifikasi. Penduduk setempat melaporkan penemuan mayat dengan anggota tubuh terikat, yang menambah ketidakpastian mengenai keadilan dan keamanan di wilayah tersebut.
Victor Santos, Sekretaris Keamanan Negara Bagian Rio, menyatakan bahwa pemerintah akan menyelidiki setiap potensi pelanggaran, meskipun ia menekankan bahwa tidak ada kesalahan dalam operasi tersebut. Sementara itu, Gubernur Rio, Claudio Castro, mengklaim operasi ini sukses, dengan menyebut bahwa “korban sebenarnya” adalah petugas polisi yang terbunuh. Castro juga menggelar pertemuan dengan sejumlah gubernur dari partai kanan untuk menunjukkan dukungan terhadap operasi tersebut.
Dalam konteks lebih luas, situasi ini menarik perhatian dari berbagai pihak. Di depan keluarga korban dan masyarakat, sekelompok anggota parlemen sayap kiri, yang dipimpin oleh Anggota Kongres Taliria Petrone, menyuarakan keprihatinan mereka. Mereka berjanji untuk mengawasi situasi di favela Penha dan menyerukan keadilan serta akuntabilitas dalam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin terjadi dalam operasi tersebut.
Para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa juga memberikan kritik terhadap tingginya jumlah korban jiwa akibat operasi-operasi militer semacam ini, menekankan perlunya penyelidikan menyeluruh. Hakim Ricardo Lewandowski menilai bahwa pemerintah federal Brasil harus bertanggung jawab atas tindakan kepolisian yang berujung pada tragedi ini.
Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, menyerukan penanganan terkoordinasi terhadap kejahatan terorganisir tanpa membahayakan keselamatan polisi dan warga sipil. Pada hari Kamis yang sama, ia menandatangani undang-undang untuk meningkatkan perlindungan bagi pejabat publik yang terlibat dalam memerangi kejahatan. Dalam pernyataannya di media sosial, Lula menegaskan ketidak toleransi pemerintah Brasil terhadap organisasi kriminal.
Penggerebekan ini tidak hanya menambah daftar panjang kekerasan yang menyertai usaha penegakan hukum di Brasil, tetapi juga memicu perdebatan tentang cara terbaik untuk menangani kejahatan terorganisir yang telah merajalela, terutama di kawasan yang terpinggirkan seperti favela. Masyarakat kini dihadapkan pada dilema antara mencari keadilan dan berjuang untuk keselamatan jiwa.
Dengan semakin banyaknya kematian yang melibatkan aparat keamanan, Brasil perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih humanis dan efektif dalam menangani masalah yang mengakar ini. Tindakan lebih lanjut diperlukan untuk menegakkan keadilan bagi para korban, serta untuk memastikan bahwa kekerasan dan penyimpangan yang terjadi selama operasi kepolisian tidak terulang di masa depan.
Sementara itu, perhatian internasional terhadap situasi di Brasil terus berlanjut, terutama menjelang acara-acara besar seperti KTT C40 yang akan diadakan di Rio, yang mungkin akan menggugah respons lebih lanjut dari komunitas global terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Source: news.okezone.com
