Dongkolnya Iran atas Rencana AS Uji Coba Nuklir, Singgung Serangan 22 Juni

Iran menyampaikan kemarahan yang mendalam atas rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk melakukan uji coba senjata nuklir. Langkah ini dianggit sebagai indikator kemunduran moral dan ancaman serius bagi perdamaian dunia. Dalam pernyataan yang dikeluarkan melalui platform X, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyatakan bahwa AS telah kehilangan legitimasi moralnya untuk berbicara mengenai isu nonproliferasi nuklir.

Araghchi dengan tegas mengkritik langkah tersebut, menyebut adanya perubahan nama “Departemen Pertahanan” yang kini menjadi “Departemen Perang” sebagai suatu sinyal. Setelah mengubah identitas lembaga tersebut, ia menyebut AS sebagai sebuah “pengganggu bersenjata nuklir” yang melanjutkan uji coba senjata atom di tengah perselisihan internasional.

Kemarahan Iran semakin bertambah karena rencana uji coba ini muncul hanya empat bulan setelah serangan militer AS terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025. Serangan tersebut menghantam infrastruktur nuklir yang diklaim oleh Teheran bersifat damai dan berada di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Menurut Araghchi, tindakan AS tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga menunjukkan standar ganda Washington dalam menangani isu-isu nuklir.

“Pengganggu yang sama menjelek-jelekkan program nuklir damai Iran dan bahkan menyerang fasilitas kami yang dijaga ketat. Kini mereka sendiri akan menguji bom atom,” ungkap Araghchi, menegaskan bahwa ini adalah bentuk pelanggaran yang jelas terhadap norma internasional. Ia menggambarkan tindakan Trump sebagai simbol dari arogansi kekuasaan yang dapat mengancam keamanan global.

Langkah uji coba nuklir oleh AS diduga menjadi respons terhadap uji coba yang dilakukan Rusia atas dua senjata bertenaga nuklir, yaitu rudal jelajah Burevestnik dan drone torpedo Poseidon. Meski kedua senjata tersebut tidak membawa hulu ledak, AS menilai bahwa uji coba itu sebagai pelanggaran terhadap semangat moratorium nuklir internasional. Namun, Iran berpandangan bahwa tudingan terhadap Rusia hanyalah dalih politik untuk membenarkan ambisi nuklir AS.

Editorial di surat kabar pemerintah Iran, Kayhan, menekankan bahwa negara yang pernah menggunakan bom atom terhadap warga sipil kini ingin mengulangi kesalahan sejarah yang sama. Ini menunjukkan bagaimana tragedi masa lalu masih dijadikan pembelajaran dan peringatan bagi Iran untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Ketegangan antara Teheran dan Washington semakin memuncak setelah serangan 22 Juni. Iran menganggap aksi tersebut sebagai tindakan agresi sepihak, sementara AS menuding Iran terus memperkaya uranium di luar batas yang disepakati dalam kesepakatan nuklir 2015. Meskipun AS mencoba untuk memperkuat posisi mereka dengan aksi militer dan program nuklir, Iran tetap berpendapat bahwa semua tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.

Para pengamat politik menganggap pernyataan Araghchi kali ini bukanlah reaksi emosional semata, melainkan merupakan peringatan tegas kepada Washington dan sekutunya. Analis Timur Tengah, Hassan Al Faridi, menyatakan bahwa bagi Iran, uji coba nuklir AS lebih dari sekadar ancaman global; hal ini juga diperlihatkan sebagai penghinaan langsung terhadap Iran.

Dari sudut pandang Iran, serangan yang mereka alami tak tampak berdasar hukum, dan justru pelaku serangan yang kini dipamerkan dengan kekuatan nuklir. Dalam konteks ini, Iran berpotensi mengubah kebijakannya di panggung internasional, menuntut perhatian lebih terhadap serangan yang mereka anggap tidak adil serta menjaga program nuklir mereka dalam kerangka yang secara sah diakui. Ke depan, ketegangan ini akan menjadi tantangan besar bagi hubungan internasional dan keamanan di kawasan Timur Tengah.

Source: www.inews.id

Berita Terkait

Back to top button