Pertemuan puncak antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping yang berlangsung di Korea Selatan baru-baru ini berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting. Pertemuan ini bukan hanya menandai gencatan senjata di tengah ketegangan perdagangan dan geopolitik, tetapi juga memunculkan diskusi mendalam tentang siapa sebenarnya yang lebih unggul antara kedua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini.
Di tengah suasana pertemuan yang penuh dengan gestur ramah, Xi Jinping berhasil memperoleh hasil signifikan, termasuk pelonggaran sebagian kontrol ekspor teknologi oleh AS. Menurut analisis para pengamat, Xi kini memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat dibandingkan pertemuannya dengan Trump pada 2019. Dexter Roberts, peneliti senior nonresiden di Global Tiongkok Hub Atlantic Council, menyatakan bahwa Tiongkok kini memiliki posisi yang lebih kuat dan mengindikasikan bahwa status AS justru mengalami penurunan.
Sejak dimulainya perang dagang pada 2018 oleh Trump, Tiongkok telah berusaha memperkuat ekonominya agar lebih tahan terhadap tekanan eksternal. Salah satu langkah kunci yang diambil adalah pengaturan ekspor mineral langka, komponen vital dalam teknologi tinggi. Gabriel Wildau, Wakil Presiden Senior di Teneo, menekankan bahwa kemampuan Tiongkok menggunakan kontrol ekspor ini sebagai alat negosiasi telah mengubah dinamika kekuasaan global.
Dalam pertemuan tersebut, Tiongkok juga menunjukkan kemampuan untuk mengurangi ketergantungannya terhadap impor pertanian AS. Setelah berhenti membeli kedelai dari AS pada Mei, Beijing mengalihkan pasokan dari Brasil dan Argentina. Langkah ini berpotensi memberikan dampak pada petani di negara-negara bagian yang merupakan basis politik penting bagi Partai Republik, seperti Iowa dan Indiana, menjelang pemilu paruh waktu 2026.
Meskipun pertemuan ini tampak memberikan keuntungan bagi Tiongkok, kedua negara tetap dalam persaingan strategis yang ketat. Ja Ian Chong dari Universitas Nasional Singapura mencatat bahwa sementara AS memiliki kendali dalam teknologi, Tiongkok menemukan cara untuk mengakalinya dengan kekuatan mineral langka. Ini menciptakan siklus adaptasi yang akan terus berlangsung antara keduanya.
Salah satu konsesi yang memihak kepada Tiongkok dalam kesepakatan terbaru adalah pengurangan tarif impor fentanil dari 20% menjadi 10%. Meski Tiongkok setuju untuk menunda pengendalian ekspor atas lima dari dua belas mineral langka, tujuh lainnya tetap di bawah pembatasan. Wang Wen dari Institut Chongyang di Universitas Renmin Tiongkok menegaskan bahwa usaha Trump untuk menekan Tiongkok melalui perang dagang telah gagal, dan mengindikasikan bahwa AS kini perlu menyesuaikan strategi.
Cerita tentang hubungan Tiongkok-AS ini menjadi penting dalam konteks global, di mana kedua negara berusaha menemukan keseimbangan baru di antara diri mereka. Seperti yang diungkapkan Xi, “Dalam menghadapi angin, ombak, dan tantangan, kita harus tetap berada di jalur yang benar.” Kalimat tersebut mencerminkan kesadaran akan kompleksitas hubungan internasional di mana kedua negara berusaha menavigasi kepentingan masing-masing.
Sebagai penutup, pertemuan ini menunjukkan bahwa meskipun Tiongkok kini memperkuat posisinya, persaingan strategis antara kedua belah pihak tidak akan berhenti di sini. Dengan dinamika yang terus berubah, masa depan hubungan Tiongkok-AS menjadi kunci untuk memahami lanskap geopolitik global. The end of an era where the US could unilaterally pressure China has indeed arrived, paving the way for a potentially more balanced global economic order.
Source: mediaindonesia.com
