Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump baru-baru ini menyatakan keyakinannya bahwa Iran tidak lagi memiliki kemampuan nuklir. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara eksklusif dengan CBS yang ditayangkan pada 2 November 2025, setelah serangan udara terhadap fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025. Keyakinan Trump disampaikan seiring dengan meningkatnya ketegangan antara kedua negara setelah serangan tersebut.
Sehari setelah penyerangan, Trump menegaskan, “Mereka (Iran) tidak memiliki kemampuan nuklir, tidak.” Ini menandakan sikap optimis AS dalam menyikapi situasi nuklir Iran menyusul serangkaian serangan yang dilakukan oleh AS dan Israel. Pada 22 Juni, dua negara tersebut meluncurkan serangan di tiga lokasi yang diduga sebagai fasilitas nuklir Iran. Tindakan ini menyusul serangan Israel terhadap Iran yang terjadi pada 13 Juni, yang turut menggagalkan rencana perundingan tidak langsung yang telah dimediasi oleh Oman.
Meskipun Trump menunjukkan keyakinan bahwa Iran tidak mampu mengembangkan senjata nuklir, pihak Iran melalui Presiden Masoud Pezeshkian menyatakan bahwa mereka berencana untuk membangun kembali fasilitas yang telah dihancurkan. Pernyataan ini menegaskan bahwa meskipun terjadi serangan, Iran tidak akan mundur dalam usaha pengembangan program nuklirnya.
Dalam konteks ini, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, juga mengisyaratkan bahwa negaranya tidak sedang mencari perundingan langsung dengan AS. Meski demikian, ia menyatakan bahwa kemungkinan untuk mencapai kesepakatan nuklir melalui dialog tidak langsung masih ada. Hal ini menunjukkan sikap Iran yang tetap berkomitmen untuk melanjutkan program nuklir meskipun terdapat tekanan internasional dan serangan militer.
Serangan yang melibatkan AS dan Israel dan tindakan balasan dari Iran pada pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah di Al Odeid, Qatar, menandai peningkatan eskalasi konflik. Sebuah gencatan senjata disepakati pada 24 Juni, namun kekhawatiran akan potensi konflik lebih lanjut masih menghantui hubungan bilateral AS dan Iran.
Perundingan mengenai program nuklir Iran sebetulnya telah mengalami sejumlah putaran. Terdapat lima kali perundingan tidak langsung yang dilakukan sebelum insiden serangan tersebut. Upaya diplomatik ini mengalami kesulitan, terutama setelah serangan oleh Israel yang memicu ketegangan lebih lanjut. Penundaan putaran keenam pada 15 Juni menunjukkan betapa rentannya situasi diplomasi di antara kedua negara.
Dalam diskusi mengenai potensi ancaman nuklir, Trump mengulangi pandangannya bahwa Iran tidak hanya gagal memiliki senjata nuklir, tetapi juga bahwa komunitas internasional harus tetap waspada untuk melindungi stabilitas regional. Sementara itu, kebijakan luar negeri yang diambil oleh AS di bawah kepemimpinan Trump berfokus pada pencegahan pengembangan senjata pemusnah massal oleh negara-negara yang dianggap bermusuhan, termasuk Iran.
Situasi ini menciptakan tantangan bagi penguasa diplomasi internasional, yang harus mempertimbangkan tidak hanya faktor keamanan, tetapi juga dinamika politik yang lebih luas di kawasan Timur Tengah. Seiring pernyataan-pernyataan diplomatik dan militer yang saling bertolak belakang, masyarakat internasional dihadapkan pada pertanyaan mendalam: apakah gencatan senjata dan diplomasi dapat membawa solusi jangka panjang untuk isu nuklir Iran, atau akankah konflik ini berkembang menjadi masalah yang lebih rumit di masa depan?
Dengan pernyataan Trump dan reaksi Iran, jelas bahwa ketegangan antara kedua negara belum mereda. Keputusan-keputusan strategis selanjutnya akan sangat berpengaruh pada stabilitas regional dan keamanan global di dekade mendatang. Dalam konteks ini, pihak yang berkepentingan di seluruh dunia harus mengamati situasi dengan seksama, mengingat implikasi dari konflik ini melampaui batas negara.
Baca selengkapnya di: www.inews.id