
Kerajaan Eswatini, yang terletak di bagian selatan Afrika, adalah satu-satunya monarki absolut yang masih ada di benua ini. Dikenal sebelumnya sebagai Swaziland, kerajaan ini terkenal karena tradisi poligami yang mengakar pada budaya masyarakatnya. Raja Mswati III, pemimpin saat ini, memiliki 15 istri dan lebih dari 35 anak. Sementara itu, pendahulunya, Raja Sobhuza II, terlahir sebagai raja dengan 70 istri dan ratusan anak.
Bagi rakyat Eswatini, memiliki banyak istri bukanlah hal yang memalukan. Sebaliknya, hal tersebut merupakan simbol kekuasaan dan kesuburan. Selain itu, bagi para raja, poligami juga menjadi alat politik untuk memperkuat kesetiaan di antara berbagai klan. Dengan cara ini, pernikahan menjadi aliansi penting antar suku. Dalam masyarakat yang beragam tersebut, setiap istri berasal dari klan yang berbeda, sehingga setiap pernikahan mengikat kerjasama politik yang kuat.
Sejarah Singkat Kerajaan Eswatini
Kerajaan Eswatini berakar dari abad ke-18 dengan Raja Ngwane III. Ia berhasil mempersatukan beberapa suku Bantu di wilayah tersebut. Kerajaan ini berubah nama menjadi Swaziland dalam menghormati Raja Mswati II, yang memerintah dari 1840 hingga 1868. Pada 2018, Raja Mswati III mengganti nama tersebut menjadi Eswatini untuk menegaskan identitas nasional pasca kolonial. Kerajaan ini pernah menjadi protektorat Inggris dari tahun 1903 hingga 1968.
Eswatini mengadopsi sistem monarki absolut, berbeda dari monarki konstitusional seperti Inggris. Ini berarti bahwa raja memegang kendali penuh atas kebijakan politik, ekonomi, dan hukum, termasuk dalam memilih banyak istri.
Raja Sobhuza II dengan 70 Istri
Raja Sobhuza II memerintah selama 82 tahun, menjadikannya salah satu raja terlama di dunia. Dalam masa pemerintahannya, ia memiliki sekitar 70 istri dan lebih dari 200 anak. Setiap pernikahan dengan istri baru menjadi aliansi politik dengan klan-kelan yang berbeda.
Raja Sobhuza II dikenal berhasil membawa Eswatini menuju kemerdekaan dari Inggris pada 1968. Namun, di balik keberhasilan ini, kerajaan menghadapi masalah suksesi internal. Perebutan kekuasaan di antara ratusan keturunan lelaki dari banyak ibu menjadi tantangan tersendiri.
Raja Mswati III, Pewaris Poligami
Raja Mswati III, yang lahir sebagai Makhosetive Dlamini, memiliki latar belakang yang cukup unik. Ayahnya adalah Raja Sobhuza II dan ibunya adalah Nkosikati Ntombi Tfwala. Ia dinobatkan sebagai raja pada usia muda, tepatnya 18 tahun, setelah ibunya menjabat sebagai Ratu Pemangku Sementara.
Setelah mengambil alih takhta, Mswati III meneruskan praktik poligami yang dijunjung tinggi oleh ayahnya. Saat ini, ia memiliki 15 istri dan lebih dari 35 anak. Salah satu tradisi yang masih dipertahankannya adalah festival Umhlanga Reed Dance. Festival ini melibatkan ribuan gadis muda yang menari di hadapan raja, dan dari situ MswatiIII sering kali memilih calon istri baru.
Meski banyak pihak menyebut festival ini sebagai simbol budaya, aktivis perempuan dan media internasional mengkritiknya sebagai bentuk objektifikasi perempuan. Dalam konteks sosial, Raja Mswati III hidup dalam kemewahan dengan istana besar dan kendaraan mewah, sementara 60% rakyat Eswatini hidup di bawah garis kemiskinan. Kontras antara gaya hidup raja dan kondisi rakyat menjadi sorotan global.
Di balik gambaran glamor kerajaan, Eswatini berada dalam posisi yang rumit. Tradisi dan modernitas sering berbenturan di negara kecil ini. Poligami yang dijalankan oleh raja menjadi simbol kekuasaan, namun juga menciptakan ketidakadilan sosial. Masyarakat Eswatini harus menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan antara tradisi yang kaya dan tuntutan untuk beradaptasi di era modern.
Baca selengkapnya di: international.sindonews.com




