Di Jepang, istilah karoshi menjadi sorotan kembali, terutama setelah Perdana Menteri Sanae Takaichi memulai tradisi rapat dini hari. Masyarakat sangat khawatir akan dampak negatif dari budaya lembur yang sudah mengakar. Karoshi berarti "kematian akibat kerja berlebihan". Fenomena ini menjadi masalah sosial serius yang sudah ada sejak tahun 1970-an.
Setiap tahun, banyak kasus karoshi dilaporkan. Namun, banyak kematian tidak dicatat secara resmi. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengatasi masalah ini secara akurat. Bimbingan kesehatan mental kurang diperhatikan di lingkungan kerja. Ini menyebabkan pekerja merasa tertekan untuk terus bekerja tanpa mengenal batas.
Budaya Kerja Lembur di Jepang
Budaya kerja di Jepang sangat menuntut. Karyawan menganggap lembur sebagai bentuk dedikasi. Ada tekanan untuk menunjukkan loyalitas dengan bekerja lebih lama. Ini menciptakan rutinitas yang melelahkan dan berpotensi berbahaya.
Beberapa faktor yang mendorong terjadinya karoshi antara lain:
- Jam lembur yang berlebihan, kadang hingga 100 jam per bulan.
- Kurangnya waktu untuk istirahat dan rekreasi.
- Tekanan emosional dan mental yang tinggi.
- Lingkungan kerja yang tidak fleksibel.
- Rasa takut mengecewakan atasan.
Kondisi ini mengakibatkan banyak pekerja merasa terjebak dalam siklus kerja yang tidak sehat.
Kasus Karoshi yang Mengguncang
Salah satu kasus terkenal adalah kematian Matsuri Takahashi pada 2016. Dia bekerja di perusahaan periklanan Dentsu dan mencatat lembur lebih dari 100 jam. Kasus ini mengguncang masyarakat Jepang dan memicu protes secara luas. Setelah insiden itu, pemerintah mengeluarkan regulasi batas lembur maksimal 45 jam per bulan.
Namun, banyak perusahaan masih beroperasi dalam budaya kerja yang sama. Meskipun ada upaya dari pemerintah untuk mengubah situasi ini, hasilnya belum memadai. Masih banyak pekerja yang ragu mengambil cuti karena takut dianggap tidak berdedikasi.
Langkah Pemerintah dan Tantangan Berkepanjangan
Pemerintah Jepang telah meluncurkan beberapa langkah untuk mengurangi insiden karoshi. Langkah-langkah tersebut meliputi:
- Penetapan batasan lembur nasional.
- Kampanye “Premium Friday” untuk pulang lebih awal setiap akhir bulan.
- Promosi kerja yang lebih fleksibel.
- Penegakan sanksi bagi perusahaan pelanggar.
Namun, banyak perusahaan masih menuntut output tinggi tanpa menambah tenaga kerja. Ini mengindikasikan bahwa regulasi harus didukung dengan perubahan budaya kerja itu sendiri.
Isu Terbaru: Rapat Dini Hari yang Kontroversial
Baru-baru ini, Perdana Menteri Takaichi mengadakan rapat pukul 03.00, melibatkan staf untuk diskusi selama tiga jam. Insiden ini menimbulkan kekhawatiran bahwa bahkan pejabat tinggi pun menyetujui praktik kerja yang tak sehat. Meski pemerintah memberikan klarifikasi, tetap ada tantangan untuk mengubah norma kerja yang sudah ada.
Jepang kini dihadapkan pada dilema besar. Budaya kerja yang ekstrem harus ditinggalkan demi kesejahteraan para pekerja. Penting untuk menyadari bahwa produktivitas tidak selalu berhubungan dengan jam kerja yang panjang. Istirahat dan kesehatan mental juga sama pentingnya dengan output kerja.
Fenomena karoshi menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi tidak selalu sejalan dengan kesejahteraan pekerja. Masih ada jalan panjang untuk membangun lingkungan kerja yang lebih manusiawi. Tanpa perhatian serius mengenai hal ini, karoshi akan terus menghantui Jepang di masa depan.
Baca selengkapnya di: www.inews.id




