Kerusuhan Madagaskar: Apa yang Menguatkan Sentimen Negatif Terhadap China di Afrika?

Unjuk rasa yang terjadi di Madagaskar bulan lalu mencerminkan meningkatnya sentimen negatif terhadap keterlibatan China di Afrika. Bisnis milik investor China menjadi sasaran serangan selama kerusuhan yang dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat. Protes ini berfokus pada masalah pemadaman listrik yang berkepanjangan dan kenaikan biaya hidup, yang berujung pada kemarahan terhadap dominasi ekonomi asing.

Para demonstran di Antananarivo mengekspresikan frustrasi mereka terhadap kegagalan pemerintah dalam mengelola sumber daya. Dominasi perusahaan China dalam sektor-sektor kunci menunjukkan ketidakadilan dalam hubungan yang dulu dipuji sebagai saling menguntungkan. Kini, banyak yang melihatnya sebagai eksploitasi yang merugikan rakyat lokal.

Ketegangan serupa juga terjadi di negara-negara lain di Afrika. Di Zambia, pekerja memprotes kondisi pabrik milik China. Di Kenya, masyarakat mengklaim transparansi utang proyek infrastruktur harus dituntut. Nigeria melaporkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan oleh perusahaan asing. Rangkaian peristiwa ini menandakan kekecewaan yang semakin meluas terhadap proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang dianggap menimbulkan ketergantungan.

Persoalan ini menyoroti bahwa kemitraan antara China dan Afrika semakin timpang. Meskipun Partai Komunis China (CCP) mempromosikan kerja sama saling menguntungkan, realitas menunjukkan ketimpangan. Perusahaan China sering memperoleh kontrak yang menguntungkan, sementara bisnis lokal berjuang keras untuk bertahan. Ini menciptakan ketegangan dalam masyarakat yang semakin mendalam.

Secara politik, keterlibatan China di Afrika sering dikaitkan dengan dukungan kepada rezim-razim yang korup. Banyak negara dengan tata kelola yang lemah menjadi target investasi yang menjanjikan, tetapi juga mengabaikan kebutuhan rakyat. Di Madagaskar, monopoli oleh perusahaan utilitas negara berdampak pada ketersediaan layanan dasar, dan praktik kronisme memperburuk kemarahan publik.

Insiden-insiden yang melibatkan diskriminasi rasial di lokasi konstruksi semakin memperburuk citra China. Video yang menunjukkan perlakuan tidak adil terhadap pekerja lokal memunculkan tuduhan neo-kolonialisme. Pekerja lokal mulai mempertanyakan eksistensi mereka dalam proyek yang seharusnya membawa manfaat bagi mereka.

Ketidakpuasan ini tidak hanya terbatas di Madagaskar. Masyarakat di berbagai belahan Afrika mulai menuntut hak mereka. Generasi baru aktivis berani bersuara, meminta akuntabilitas dan transparansi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang siapa yang menikmati keuntungan dari proyek infrastruktur kini menggema di seluruh benua.

Respon dari CCP terhadap kerusuhan ini biasanya berupa pengalihan perhatian dengan menuduh adanya unsur ekstremis. Tetapi tuduhan ini sering kali mengabaikan masalah struktural lebih dalam yang menjadi penyebab utama ketidakpuasan. Ketidakstabilan di Madagaskar mencerminkan kegagalan dari pendekatan yang lebih luas dalam hubungan Afrika-China.

Seiring protes merambah ke kota-kota lain, pertanyaan penting muncul: dapatkah China menyesuaikan pendekatannya untuk menghormati martabat dan hak-hak lokal? Atau, akankah ketidakpuasan ini menjadi momen kritis yang menentukan arah hubungan di masa depan?

Seruan “Kami bukan budak” dari para demonstran melambangkan semangat untuk perubahan yang lebih baik. Masyarakat di Afrika tidak ingin lagi dianggap sebagai penerima pasif. Mereka menuntut kerjasama yang berdasarkan empati dan menghargai martabat setiap individu, bukan eksploitasi. Hal ini menandakan bahwa hubungan yang lebih adil dan berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua pihak.

Baca selengkapnya di: international.sindonews.com
Exit mobile version