Nepal baru saja mengguncang dunia internasional dengan mengajukan dakwaan pidana terhadap kontraktor China terkait proyek ambisius Bandara Internasional Pokhara. Ini menjadi sorotan utama karena merupakan langkah berani yang mengungkap dugaan korupsi masif di bawah program Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas China.
Proyek Bandara Pokhara yang seharusnya menjadi kebanggaan Nepal justru mencoreng nama baik pemerintahan. Otoritas antikorupsi Nepal, melalui Komisi Investigasi Penyalahgunaan Wewenang (CIAA), menuding China CAMC Engineering Co. Ltd. terlibat dalam praktik manipulasi serta penggelembungan biaya yang mencapai USD 286,5 juta. Hal ini jauh melampaui nilai yang telah disepakati sebelumnya.
Temuan ini tidak hanya menyeret kontraktor dari China, tetapi juga pemerintahan sebelumnya di bawah mantan Perdana Menteri KP Sharma Oli dan Pushpa Kamal Dahal. Kegiatan mereka dituding berkontribusi pada praktik penyimpangan yang terstruktur dan sistematis sehingga mendorong terjadinya korupsi yang merugikan sektor publik.
Madan Krishna Sharma, presiden Transparency International Nepal, menjelaskan bahwa tindakan ini belum pernah terjadi sebelumnya di negara tersebut. “Badan anti-korupsi kini dapat bertindak secara independen dan ini adalah langkah positif bagi akuntabilitas politik,” ungkapnya.
Nepal juga mencatat dugaan bahwa kontraktor China telah memanipulasi prosedur pengadaan, tidak berpegang pada praktik yang tepat, serta terlibat dalam suap untuk mendapatkan proyek. Mantan diplomat Nepal, Vijay Kant Karna, menggarisbawahi dampak serius dari perilaku ini, di mana negara harus menanggung beban akibat korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat penting.
Dampak dari skandal ini lebih luas dari yang dibayangkan. Proyek BRI lain yang dibiayai oleh China kini terancam terhenti. Puluhan proyek ditengarai mengandalkan pola serupa, yakni penggelembungan biaya dan kurangnya transparansi keuangan. Para aktivis dan LSM di Nepal menyambut positif penetapan dakwaan ini sebagai langkah penting dalam memberantas budaya korupsi yang telah merajalela.
Menariknya, hal ini juga menciptakan tantangan politik bagi pemimpin-pemimpin Nepal. Mega proyek yang dibiayai melalui pinjaman dari China sering kali hanya memberikan kesempatan bagi perusahaan China untuk berpartisipasi dalam tender. Ini menuai kritik tajam dari publik yang merasa dirugikan.
Dakwaan yang diajukan oleh CIAA mencakup 55 individu, termasuk pejabat dari China CAMC Engineering. Penyelidikan ini telah menemukan adanya penyimpangan yang mencapai 14 miliar rupee, mengindikasikan adanya korupsi di tingkat tinggi.
Situasi politik di Nepal kini semakin memanas. Tuntutan publik agar semua pihak yang terlibat dimintai pertanggungjawaban semakin menguat. “Setiap individu yang bersalah harus menghadapi hukum, bukan hanya kontraktor internasional yang harus dimintai pertanggungjawaban,” tegas Sharma.
Protes yang awalnya berakar pada pembatasan media sosial kini meluas menjadi tuntutan untuk menuntut akuntabilitas. Generasi muda Nepal, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Pradip Gyawali, menganggap kasus ini sebagai awal dari perubahan, melawan impunitas yang telah terbangun.
Keterlambatan konstruksi dan inefisiensi proyek-proyek dibiayai oleh China semakin memicu kemarahan masyarakat. Berbagai proyek seperti jalan raya dan bandara menjadi sorotan karena biaya yang membengkak dan jadwal yang tidak tepat. “Ada kebutuhan mendesak untuk menuntut akuntabilitas dari mereka yang memiliki hubungan dengan kasus korupsi ini,” ujar Jayamukunda Khanal, mantan Sekretaris Utama pemerintah Nepal.
Di tengah ketidakpastian ini, harapan akan perubahan di kancah politik Nepal semakin kuat. Publik menantikan pemerintahan yang lebih bertanggung jawab dan transparan. Langkah ini bisa menjadi sinyal awal bahwa rakyat Nepal tidak akan mundur dalam menuntut keadilan dan akuntabilitas.
