Gawat! 34,9% Remaja Indonesia Alami Masalah Kesehatan Mental

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, baru-baru ini mengungkapkan fakta mencengangkan mengenai kesehatan mental remaja di Indonesia. Sebanyak 34,9 persen remaja di tanah air mengalami masalah kesehatan mental, dengan 5,5 persen mengalami kondisi yang tergolong berat. Hal ini menjadi perhatian serius, terutama ketika jumlah remaja yang memiliki pikiran untuk bunuh diri semakin meningkat.

Pengumuman ini disampaikan Fajar pada acara pembukaan Pelatihan Fasilitator Daerah di Padang, Sumatera Barat. “Yang lebih memprihatinkan, semakin banyak anak-anak kita yang memiliki pikiran untuk bunuh diri,” ujarnya. Kecenderungan ini menunjukkan pentingnya intervensi cepat dalam bidang kesehatan mental, terutama di kalangan remaja.

Faktor Penyebab Masalah Kesehatan Mental

Fajar juga menyoroti beberapa faktor yang memperburuk keadaan ini. Salah satunya adalah pola pengasuhan di rumah yang kurang mendukung dan keterpaparan anak-anak terhadap gawai sejak usia dini. Lebih dari 30 persen anak usia 0–6 tahun sudah terbiasa menggunakan gawai, yang menciptakan fenomena "scroll culture". Kondisi ini membuat anak-anak mudah marah, kehilangan motivasi belajar, dan kurang bersosialisasi.

Kecanduan gawai dan media sosial juga berdampak pada kesehatan mental remaja. Menurut Fajar, fenomena ini sering kali memicu fenomena cyberbullying, stres, dan depresi. “Mereka cenderung lebih suka menyendiri dan lebih percaya berbagi cerita kepada teman sebaya atau akun anonim di media sosial dibandingkan kepada orang tua atau guru,” jelasnya.

Upaya Pendidikan dalam Mengatasi Masalah

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Balai Guru dan Tenaga Kependidikan (BGTK) telah memulai program penguatan kompetensi guru dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling. Program ini bertujuan untuk menyediakan pendekatan yang lebih humanis dan menyeluruh dalam pendidikan, terutama dalam menanggulangi isu kesehatan mental di kalangan generasi muda.

Wakil Menteri menyatakan, murid masa kini tidak hanya dituntut untuk unggul secara akademis, tetapi juga harus tumbuh sehat secara mental dan emosional. Oleh karena itu, guru tidak hanya dituntut mengajar, tetapi juga mendampingi siswa dalam aspek psikologis dan sosial. “Guru BK harus memiliki keterampilan untuk mendeteksi masalah kesehatan mental pada anak-anak,” imbuhnya.

Pentingnya Komunikasi dan Lingkungan yang Mendukung

Fajar menekankan bahwa komunikasi antara sekolah dan orang tua harus senantiasa dijaga. Hal ini dianggap penting untuk mencegah kesalahpahaman yang bisa berujung pada kasus-kasus tragis seperti bunuh diri di kalangan remaja. “Komunikasi yang baik sangat vital agar setiap pihak bisa memberi dukungan yang dibutuhkan,” ujarnya.

Sekolah diharapkan menjadi “rumah kedua” bagi anak-anak, dengan lingkungan yang aman dan menyenangkan. Fajar mengajak semua pihak untuk membangun komunikasi yang efektif antara siswa, orang tua, dan guru agar setiap anak bisa merasa nyaman untuk bercerita dan mendiskusikan perasaannya.

Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, diharapkan bahwa upaya ini dapat mengurangi angka remaja yang mengalami masalah kesehatan mental di Indonesia. Ini adalah langkah penting yang perlu didukung oleh semua pihak, termasuk pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.

Berita Terkait

Back to top button