Berapa Lama ‘Mati Suri’ Bisa Terjadi? Fakta Menarik yang Perlu Diketahui

Kematian klinis, yang sering kali dikenal di Indonesia sebagai “mati suri,” merupakan fenomena menarik yang menarik perhatian banyak kalangan. Pertanyaan seputar berapa lama seseorang dapat mengalami kondisi ini sebelum tidak bisa diselamatkan lagi menjadi tema penting. Dalam dunia medis, beberapa waktu dapat dianggap kritis, dan banyak faktor memengaruhi kemungkinan pemulihan seseorang setelah mengalami henti jantung.

Ketika jantung berhenti berdetak, seluruh tubuh, terutama otak, tidak lagi mendapatkan pasokan darah dan oksigen. Proses kematian dapat mulai terjadi setelah sekitar lima menit tanpa oksigen. Pada umumnya, jika seseorang mengalami henti jantung dan tidak diresusitasi dalam waktu 30 menit, kemungkinan pemulihan tanpa kerusakan otak yang parah sangat minim. Hal ini disampaikan oleh Dr. Daniel Mark Rolston, seorang dokter gawat darurat.

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah teknik yang digunakan untuk mengembalikan aliran darah dan oksigen ke otak. Meskipun RJP tidak selalu efektif untuk menghidupkan kembali jantung, metode ini memberi waktu untuk intervensi lebih lanjut. Sementara itu, defibrilasi, yang mengalirkan arus listrik ke jantung, dapat membantu memulihkan detak jantung alami. Di rumah sakit, tingkat kelangsungan hidup setelah RJP mencapai sekitar 20%. Namun, angka ini menurun menjadi 10% untuk kasus henti jantung di luar rumah sakit, di mana waktu respons sering kali lebih lambat dan pelatihan RJP kurang umum.

Salah satu pengecualian terhadap batasan waktu ini adalah ketika henti jantung disertai dengan hipotermia. Dalam kondisi ini, suhu tubuh yang lebih rendah dapat melindungi sel-sel otak dengan memperlambat metabolisme. Studi kasus mencatat seorang pria berusia 31 tahun yang berhasil dihidupkan kembali setelah 8 jam 42 menit mengalami henti jantung akibat hipotermia yang disebabkan oleh badai petir. Dengan segera diberikan CPR dan perawatan intensif di rumah sakit, pria tersebut pulih sepenuhnya setelah tiga bulan meskipun mengalami kondisi ekstrem.

Namun, penting untuk dicatat bahwa kematian otak berbeda dengan henti jantung. Ketika seseorang dinyatakan mati otak, itu berarti semua sinyal dari otak tidak lagi berfungsi untuk mengendalikan kemampuan dasar kehidupan. Diagnosis kematian otak membutuhkan pengujian menyeluruh untuk memastikan bahwa tidak ada kondisi lain yang menyamarkan gejala tersebut.

Proses untuk diagnosis ini meliputi penggunaan pencitraan otak dan pemeriksaan fungsi neurologis. Kematian otak adalah kondisi permanen, dan tidak ada jalan kembali setelahnya. Di sisi lain, meskipun mati jantung dapat memiliki kemungkinan untuk pemulihan dalam waktu singkat, pengalaman menunjukkan bahwa setiap detik sangat berharga. Kecepatan intervensi dan ketersediaan teknik resusitasi akan menentukan hasil akhir.

Situasi di luar rumah sakit, di mana keberadaan petugas kesehatan terbatas dan respons lambat, memperburuk peluang untuk menyelamatkan nyawa. Masyarakat umum pun diharapkan lebih peka dan berlatih dalam teknik RJP agar mampu memberikan pertolongan pertama secara efektif dalam situasi darurat.

Secara keseluruhan, penting untuk menyadari bahwa meskipun ada kasus luar biasa di mana orang dapat dihidupkan kembali setelah mengalami henti jantung dalam waktu lama, keadaan tersebut sangat jarang. Sebagian besar waktu, jangka waktu “mati suri” yang berlangsung lebih dari 30 menit berisiko tinggi untuk meninggalkan dampak serius bagi pemulihan pasien. Pengalaman ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan pelatihan dalam pertolongan pertama dapat menjadi penyelamat, berpotensi mencegah kehilangan nyawa yang berharga.

Source: lifestyle.bisnis.com

Berita Terkait

Back to top button