Pernyataan kontroversial dari Menteri Kesehatan Amerika Serikat, Robert F. Kennedy Jr., baru-baru ini menuai banyak perhatian setelah ia mengklaim ada kemungkinan hubungan antara sunat dan autisme. Sambil menekankan bahwa obat pereda nyeri seperti Tylenol juga dapat berkontribusi terhadap peningkatan risiko autisme, ia merujuk pada dua penelitian yang katanya menunjukkan bahwa anak-anak yang disunat memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami gangguan spektrum autisme. Namun, klaim ini dengan tegas dibantah oleh para ahli medis.
Sunat, yang merupakan prosedur pembedahan untuk menghilangkan kulit penutup kepala penis, mempunyai berbagai latar belakang budaya dan agama. Data dari Johns Hopkins Medicine menunjukkan bahwa tingkat sunat di Amerika Serikat telah menurun dari 54,1% menjadi 49,3% antara tahun 2012 hingga 2022. Terlepas dari praktik ini, banyak doktor dan ahli kesehatan menekankan bahwa tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung hubungan antara sunat dan autisme.
Walaupun Kennedy menyebutkan dua studi, ia tidak mengutip sumber spesifik, yang membuatnya sulit untuk mengonfirmasi kebenaran pernyataan tersebut. Studi-studi yang dimaksud kemungkinan besar adalah penelitian tahun 2013 dan 2015 yang menunjukkan adanya keterkaitan antara sunat dan autisme, tetapi banyak ahli menilai metodologi keduanya lemah. Dr. Celine Gounder, yang merupakan kontributor medis di CBS News, menjelaskan bahwa hasil penelitian tersebut mungkin terdistorsi oleh faktor perancu, seperti kondisi yang memang sudah ada sebelumnya pada anak.
Gounder memberikan contoh konkrit, mengibaratkan situasi tersebut dengan hubungan antara kebiasaan merokok dan penyakit jantung pada para peminum kopi, yang sebenarnya dipengaruhi oleh variabel lain. “Melihat data secara tepat sangat penting untuk memastikan klaim tidak menyesatkan,” tambahnya.
Penelitian Denmark tahun 2015 menemukan bahwa risiko autisme lebih tinggi pada anak laki-laki di bawah usia lima tahun yang disunat, tetapi hubungan ini hilang setelah mereka mencapai usia lima tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa jika sunat memang menyebabkan autisme, maka hubungan tersebut seharusnya tetap ada meskipun anak telah lebih besar.
Dr. Steven Abelowitz, seorang ahli anak, juga menegaskan bahwa tidak ada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara sunat, Tylenol, atau vaksin dengan autisme. Meskipun ada beberapa studi observasional yang menunjukkan adanya korelasi, bukan berarti ada hubungan sebab-akibat yang jelas.
Kritik terhadap pernyataan Kennedy juga datang dari berbagai kalangan. Mel Merritt, Kepala Kebijakan dan Kampanye National Autistic Society di Inggris, menyebut pernyataan tersebut sebagai “anti-sains yang berbahaya.” Ia menekankan bahwa klaim-klaim tersebut tidak berdasarkan penelitian ilmiah yang solid dan dapat membahayakan masyarakat.
Klaim yang sama juga muncul dari pernyataan Presiden AS, Donald Trump, yang menyanjung temuan FDA terkait asetaminofen selama kehamilan dan peningkatan risiko autisme. Para dokter menilai klaim tersebut bisa menyesatkan, seperti yang dinyatakan oleh Dr. Steven J. Fleischman, Presiden American College of Obstetricians and Gynecologists, yang mengatakan bahwa tuduhan bahwa asetaminofen menyebabkan autisme adalah sangat tidak bertanggung jawab.
Menyikapi semua hal ini, penting untuk menyadari bahwa disinformasi tentang sunat dan autisme dapat membawa dampak serius, baik pada praktik medis maupun pada persepsi masyarakat. Penelitian yang lebih mendalam dan akurat diperlukan untuk menjawab isu-isu ini dan mencegah penyebaran informasi yang salah yang dapat menyesatkan masyarakat.
Source: www.beritasatu.com





