Indonesia memiliki kekayaan luar biasa dalam hal tanaman herbal yang berpotensi dikembangkan menjadi Obat Modern Alami Integratif (OMAI). Namun, meskipun potensi tersebut besar, produksi dan pengembangan obat alami dalam negeri terhambat oleh berbagai kendala, termasuk regulasi dan kurangnya basis ilmiah.
Sumber daya tanaman obat di Indonesia melimpah, namun tidak diiringi dengan pengembangan yang memadai. Menurut data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), upaya untuk memasukkan obat bahan alami ke dalam Formularium Nasional JKN terganjal oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2018. Ini mengabaikan potensi obat herbal dalam menyuplai kebutuhan kesehatan masyarakat, padahal negara-negara dengan tradisi pengobatan yang kaya, seperti India dan China, sudah menerapkan sistem serupa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui strategi Global Traditional Medicine Strategy 2025–2034 mendorong perlunya penguatan bukti ilmiah dan regulasi dalam pengobatan tradisional. Pradeep Dua, perwakilan WHO-IRCH, menjelaskan bahwa regulasi ini tidak hanya mencakup produk, tetapi juga praktik dan praktisi dalam pengobatan tradisional. “Pembangunan obat berbasis bukti yang kuat menjadi kebutuhan mendesak agar dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya.
Salah satu contoh positif dari pengembangan OMAI di Indonesia adalah Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS), yang telah beroperasi sejak 2005. Mereka berhasil mengembangkan OMAI tidak hanya dari tanaman, tetapi juga dari hewan, seperti produk Dislof yang berasal dari cacing tanah (Lumbricus rubellus). Prof. Raymond Tjandrawinata, Direktur Pengembangan Bisnis dan Urusan Ilmiah PT Dexa Medica, menyatakan bahwa produk ini telah mendapatkan pengakuan dan digunakan oleh dokter spesialis di Indonesia serta diekspor ke berbagai negara.
DLBS menggunakan teknologi 4.0 di seluruh proses riset dan pengembangan produk. Dengan pendekatan saintifik yang diterapkan, mereka bisa membuktikan efektivitas produk herbal secara klinis, sehingga dapat bersaing dengan obat kimia. “Jika desain penelitian baik dari bahan baku hingga produk jadi, maka produk herbal berbasis keanekaragaman hayati tidak kalah kualitasnya dibandingkan produk kimia,” sambung Prof. Raymond.
Namun, tantangan tetap ada. Selain regulasi yang belum mendukung, terdapat juga masalah dalam menembus pasar internasional. Prof. Raymond mengungkapkan bahwa Indonesia, yang berada di urutan kedua dalam biodiversitas dunia, belum mengadopsi sistem yang mendukung penggunaan obat tradisional dalam program jaminan kesehatan, yang sudah diterapkan di negara lain.
Kendala lainnya mencakup kurangnya penelitian yang mendalam dan pemahaman tentang potensi tanaman herbal lokal. Banyak produk herbal yang belum mendapatkan pengakuan secara ilmiah di kalangan tenaga medis, padahal media riset dan pengembangan yang tepat dapat mengubah paradigma ini.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mendorong kerja sama dalam penelitian dan pengembangan obat, serta memperkuat regulasi yang ada. Ke depannya, jika regulasi diperbaiki dan disertai bukti ilmiah yang solid, obat herbal Indonesia bisa mendapatkan tempat yang layak, baik di dalam negeri maupun di pasar global.
Melihat potensi ini, ada harapan bahwa Indonesia dapat memaksimalkan sumber dayanya dengan menjadikan obat herbal sebagai salah satu solusi alternatif dalam sistem kesehatan nasional. Selain itu, dengan dukungan dari lembaga internasional seperti WHO, diharapkan pengembangan obat tradisional dapat selaras dengan standar global, memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Source: www.suara.com





