Pondok Pesantren Bidayatussalikin di Turgo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyuguhkan prestasi yang sangat mengharukan dengan keberhasilan 21 mantan pecandu narkoba yang kini hafal Alquran 30 juz. Setelah menjalani proses rehabilitasi, para santri tersebut bertransformasi menjadi penghafal Alquran, menunjukkan bahwa pendekatan spiritual dan religi dapat menjadi kunci utama dalam penyembuhan.
Metode rehabilitasi di Pondok Pesantren Bidayatussalikin berbeda dari pusat rehabilitasi konvensional. Pendalaman agama, khususnya penghafalan Alquran, diolah menjadi metode utama dalam proses penyembuhan. Pengasuh ponpes, KH Abdullah Deny Setiawan, menekankan bahwa keberhasilan ini sangat membanggakan. “Ini sangat membanggakan karena ada yang sudah hafal sampai 30 juz,” ujarnya dalam acara Khotmil Quran yang digelar baru-baru ini.
Dari sekitar 110 santri yang menjalani rehabilitasi, 21 orang telah berhasil menghafal Alquran. Beberapa dari mereka bahkan mampu menghafal sampai 30 juz, meski sempat menghadapi kondisi yang sangat berat saat pertama kali datang. KH Deny menyoroti betapa sentuhan spiritual dalam rehabilitasi mampu membangkitkan semangat baru bagi para santri. “Kami sadarkan mereka dengan hati,” terangnya.
Rehabilitasi di Ponpes Bidayatussalikin juga melibatkan kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk Badan Narkotika Nasional (BNN), kepolisian, dan TNI. Hal ini menunjukkan keseriusan dalam menangani masalah narkoba melalui rehabilitasi dan pendidikan formal. Tidak hanya terfokus pada hafalan tekstual, para santri juga diajarkan untuk memahami dan menghayati isi Alquran sebagai pedoman hidup, menciptakan program pembinaan karakter yang menyeluruh.
Santri-santri ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia, baik dari Pulau Jawa maupun luar Jawa, menunjukkan bahwa program rehabilitasi di pondok ini memiliki cakupan nasional. Keberhasilan mereka pun mendapatkan perhatian dan sambutan positif dari berbagai kalangan. Kabag Kesra Setda Sleman, Sigit Herutomo, menilai bahwa program ini dapat memperkuat karakter religius mantan pecandu. “Jadikanlah Alquran sebagai pegangan awal untuk melangkah,” tuturnya.
Ari Sutryasmanto, Ketua Tim Rehabilitasi BNNK Sleman, memberikan apresiasi atas perubahan mental yang dialami oleh para santri. Dia menekankan pentingnya sinergi antarstakeholder dalam mengubah kehidupan mantan pecandu menjadi lebih baik. Perubahan ini bukan hanya soal aspek penghafalan, tetapi juga menyentuh aspek mental dan spiritual.
Kisah para santri ini memiliki potensi untuk menginspirasi banyak orang, baik mantan pecandu maupun masyarakat umum. Melalui perjalanan mereka, terlihat betapa pentingnya dukungan spiritual dan komunitas dalam proses rehabilitasi. Pengalaman ini juga membuktikan bahwa harapan selalu ada, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
Dengan pendekatan yang berfokus pada pengembangan spiritual, Pondok Pesantren Bidayatussalikin memberikan contoh nyata tentang bagaimana rehabilitasi dapat dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi. Upaya untuk menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup serta penghafalan yang berkualitas membuktikan bahwa perubahan positif itu mungkin.
Semangat yang ditunjukkan oleh para santri ini seharusnya menjadi pemicu bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap isu penyalahgunaan narkoba. Kesuksesan ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi mereka, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang mendukung upaya rehabilitasi dan pendidikan agama.





