MK Larang Wamen Rangkap Jabatan, Komisi VI DPR: Harus Dijalankan Tanpa Terkecuali

Komisi VI DPR menegaskan pentingnya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang Wakil Menteri (Wamen) merangkap jabatan sebagai komisaris atau dewan pengawas di badan usaha milik negara (BUMN). Keputusan ini harus dipatuhi tanpa terkecuali, menurut pernyataan anggota Komisi VI, Sadarestuwati, yang menambahkan bahwa putusan MK disebutkan dengan jelas dan harus diterapkan oleh pemerintah.

Keputusan MK yang melarang Wamen merangkap jabatan tersebut tertuang dalam putusan sidang perkara nomor 21/PUU-XXIII/2025. Pengajuan permohonan ini sebelumnya diwakili oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon, tetapi gugatan tersebut digugurkan karena pemohon telah meninggal dunia. Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengutip Pasal 23 dari UU Nomor 3 Tahun 2008 yang melarang menteri atau Wamen mengisi jabatan sebagai pejabat negara lainnya.

Sadarestuwati menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap putusan ini. Ia menyampaikan, “Keputusan MK sudah jelas. Dan saya kira keputusan itu harus dijalankan tanpa terkecuali.” Di sisi lain, ada ketentuan lain dari putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang juga menegaskan larangan bagi Wamen untuk merangkap jabatan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Memang, terdapat keprihatinan mengenai sejumlah Wamen yang masih merangkap jabatan di perusahaan BUMN, yang menimbulkan pertanyaan tentang kepatuhan terhadap hukum. Dalam hal ini, Komisi VI mendorong tindakan tegas dari pemerintah untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap putusan tersebut. “Harus ada langkah nyata dari pemerintah untuk menegakkan aturan ini,” tambah Sadarestuwati.

Dasar hukum terkait larangan rangkap jabatan bagi menteri dan Wamen ini menjadi perhatian utama dalam konteks pengawasan BUMN. Pasal 23 mengatur bahwa menteri tidak hanya dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, tetapi juga sebagai komisaris atau direksi dalam perusahaan, baik itu perusahaan negara maupun swasta, termasuk organisasi yang dibiayai dengan APBN atau APBD.

Keputusan MK kali ini merupakan bagian dari upaya untuk menegakkan akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, khususnya dalam pengelolaan BUMN. Dalam konteks ini, MK menyatakan perlunya penegakan hukum yang ketat untuk mencegah benturan kepentingan yang dapat merugikan publik.

Berdasarkan informasi dari putusan yang dibacakan, MK mengakui masih adanya pelanggaran oleh Wamen yang menduduki posisi di perusahaan BUMN. Hal ini menunjukkan adanya tantangan dalam implementasi peraturan yang sudah ada. Komisi VI DPR menekankan bahwa solusi harus dicari untuk mengatasi masalah ini, termasuk mendorong pemerintah untuk wajib mengganti Wamen yang masih merangkap jabatan.

Penting untuk disebutkan bahwa keputusan ini diharapkan tidak hanya sebagai bentuk penegakan hukum, tetapi juga sebagai langkah strategis menuju reformasi struktural dalam pengelolaan BUMN. Dengan adanya kejelasan hukum, diharapkan akan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap transparansi dan integritas dalam pemerintahan.

Dari perspektif hukum, putusan MK tidak hanya berlaku untuk kasus ini, tetapi juga menjadi preseden bagi kasus lainnya di masa depan. Pengawasan terhadap kepatuhan hukum di sektor publik menjadi lebih krusial ketika melihat fenomena rangkap jabatan yang dapat menyebabkan konflik kepentingan di kalangan pejabat pemerintah.

Pernyataan dari Komisi VI DPR ini diharapkan mampu mendorong kesadaran di kalangan pejabat pemerintah untuk menghormati dan mematuhi putusan MK, sehingga ke depannya tidak ada lagi pelanggaran yang merusak citra pemerintahan di mata publik. Penerapan putusan MK secara konsisten merupakan langkah awal untuk memastikan bahwa segala bentuk tindakan dari pejabat negara sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Berita Terkait

Back to top button