Dasco Pantau Rapat Pembahasan RUU KUHAP di Komisi III DPR, Begini Hasilnya

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memantau rapat pembahasan revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP, yang diadakan oleh Komisi III DPR RI. Kegiatan ini bertujuan untuk menerima masukan dari perwakilan masyarakat, di mana rapat tersebut dijadwalkan berlangsung pada pukul 14.00 WIB. Dasco menyatakan bahwa partisipasi publik dalam penyusunan perundang-undangan merupakan hal yang sangat penting dan berharap agar masukan dari berbagai pihak dapat tercakup secara maksimal.

Meski Dasco hanya hadir untuk memeriksa persiapan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), ia menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam proses legislasi. Melalui keterlibatan ini, diharapkan dapat tercipta undang-undang yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. “Ini dalam rangka itu, ya kita sekali-kali ngecek pelaksanaannya,” ujarnya di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Komisi III DPR berencana mengundang sejumlah organisasi advokat terkemuka untuk memberikan pendapat terkait RUU KUHAP. Salah satu organisasi yang diundang adalah PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan beberapa organisasi lain, termasuk HAPI (Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia) dan IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia). Selain itu, mereka juga merencanakan untuk mendapatkan masukan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menanggapi kritik yang menyebut bahwa proses pembahasan RUU KUHAP kurang melibatkan partisipasi publik. Ia menegaskan bahwa DPR telah melakukan serangkaian kegiatan secara terbuka dan melibatkan elemen masyarakat sejak awal. “Kami sudah melakukan banyak RDPU, lebih dari 50 kali, bahkan saat suasana Lebaran kami tetap mengundang,” ungkap Habiburokhman.

Di sisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai bahwa meski ada usaha untuk melibatkan publik, namun usulan dan masukan mereka tidak diakomodasi dengan baik dalam RUU ini. Dalam sebuah konferensi pers, koalisi tersebut menegaskan bahwa proses penyusunan RUU KUHAP terasa terburu-buru dan jauh dari perhatian terhadap hak-hak warga negara, termasuk mereka yang terlibat dalam sistem peradilan.

Koalisi ini juga mencatat bahwa sepanjang proses ini, mereka merasa belum ada transparansi yang mencukupi. Mereka menginginkan akses mudah terhadap dokumen RUU agar publik dapat memberikan tanggapan yang lebih signifikan. “Apakah mungkin ada partisipasi, ketika transparansi sebagai prasyaratnya pun tidak ada?” ungkap mereka dalam pernyataan resmi.

Sebagai catatan penting, Advokat dan anggota Koalisi menyampaikan pentingnya pengaturan RUU yang mampu memenuhi jaminan perlindungan hak asasi manusia. Mereka menekankan bahwa revisi ini harus lebih cermat dan hati-hati dibandingkan dengan draf sebelumnya. Pengacara dari berbagai organisasi menuntut agar setiap masukan dari masyarakat, terutama yang berbicara mengenai perlindungan HAM, harus dipertimbangkan secara serius.

Habiburokhman pun bersikeras bahwa banyak pasal dalam RUU yang lahir dari masukan masyarakat. Namun, ia juga mengingatkan bahwa pembuatan draf undang-undang adalah kewenangan DPR. Dalam konteks ini, kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil dianggapnya perlu ditanggapi secara hati-hati. “Silakan masyarakat yang menilai, kami yang omong kosong atau mereka yang omong kosong,” tegasnya.

Menghadapi kritik dan tantangan yang ada, pembahasan RUU KUHAP diharapkan dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat—dalam dua kali masa sidang, dengan target pengesahan sebelum Januari 2026. Kecepatan ini, meskipun diinginkan oleh DPR, masih diwarnai dengan kekhawatiran dari berbagai pihak mengenai substansi dan implementasi dari revisi yang diusulkan.

Hal ini menunjukkan bahwa proses legislasi tidak hanya perlu cepat, tetapi juga harus inklusif dan transparan agar dapat memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat luas yang beragam.

Berita Terkait

Back to top button