Teori Gramsci Buktikan: Google dan Meta Ciptakan Hegemoni Digital Global

Perkembangan teknologi digital telah menciptakan pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari, terutama melalui platform seperti Google dan Meta. Dalam konteks ini, pemikiran Antonio Gramsci mengenai hegemoni menjadi sangat relevan. Gramsci, seorang filsuf Marxis, menguraikan bagaimana dominasi bisa terjadi melalui persetujuan, bukan hanya paksaan. Saat ini, platform-platform ini tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga konten dan narasi publik, yang menandakan adanya "hegemonisasi digital".

Hegemoni digital beroperasi dalam tiga dimensi utama. Pertama, kepemimpinan intelektual-moral. Google dan Meta menyajikan narasi bahwa "berbagi konten adalah kemajuan". Namun, di balik itu, mereka meraih keuntungan yang signifikan dari konten yang diproduksi oleh orang lain. Dalam laporan terkini, diketahui bahwa besaran keuntungan yang didapat dari iklan yang terhubung pada konten mencapai triliunan rupiah. Menurut data Nielsen, pendapatan iklan digital kini melonjak menjadi Rp 55 triliun pada 2024, menggeser sebagian besar kue iklan dari media tradisional yang mengalami penurunan.

Kedua, ada transformisme. Platform-platform ini sering kali mengkooptasi media tradisional, contohnya dengan mengambil alih konten yang sudah ada namun memberikan imbalan yang tampaknya menguntungkan. Sebagai ilustrasi, YouTube membagi pendapatannya dengan rasio 55:45. Meskipun terlihat adil, sistem ini tetap menguntungkan platform lebih besar dibandingkan media tradisional.

Ketiga, dimensi blok historis. Dalam konteks ini, terjalin aliansi antara platform digital besar, pengiklan global, dan konsumen. Strategi ini menciptakan situasi di mana masyarakat merasa mendapatkan akses gratis terhadap konten, tanpa menyadari bahwa hak-hak ekonomi para produsen konten diabaikan.

Dalam menghadapi hegemoni digital ini, Dewan Pers memberikan solusi berupa Publishing Rights, yang diusulkan sebagai alat untuk mengarahkan kembali aliran dana ke media tradisional. Usulan ini disambut baik oleh pemerintah melalui Perpres No. 32/2024, mengadopsi strategi Gramsci. Dengan melakukan dampak ekonomi kepada platform, Dewan Pers berupaya mendapatkan keadilan bagi jurnalis dan media yang terancam.

Namun, untuk melaksanakan ini secara efektif, dibutuhkan tiga strategi Gramsci. Pertama, perang posisi dengan kembali merebut kontrol atas produksi dan distribusi informasi. Kedua, intelektual organik yang dapat mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Ketiga, blok historis baru yang menggabungkan berbagai kekuatan sosial untuk menantang status quo, termasuk aliansi media digital dan dukungan dari pemerintah.

Penting untuk diperhatikan, pengalaman global menunjukkan bahwa menantang hegemoni digital tidaklah mudah. Misalnya, Australia berhasil memaksa Google untuk membayar AU$150 juta berkat News Media Bargaining Code. Namun, keberhasilan ini tidak datang tanpa perlawanan. Meta pernah memblokir berita di Facebook Australia sebagai bentuk respons atas upaya tersebut, menunjukkan sifat defensif dari hegemon digital.

Dari sudut pandang Gramsci, ketahanan dan praksis counter-hegemonisasi sangat penting. Ada beberapa langkah yang bisa diambil. Untuk jangka pendek, negosiasi langsung antara media dan platform perlu dilakukan. Namun, jika gagal, pembentukan Badan Otorita Ketahanan Media Digital bisa menjadi solusi.

Untuk jangka menengah, penting untuk meredistribusi keadilan melalui dana; contohnya 60% untuk konten, 30% untuk media lokal, dan 10% untuk program pelatihan. Serta, untuk jangka panjang, edukasi masyarakat tentang pentingnya jurnalisme berkualitas harus menjadi prioritas.

Publishing Rights bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan upaya membangun ekosistem media yang lebih demokratis dan berkeadilan. Dalam pandangan Gramsci, penting untuk membentuk "common sense" baru yang menghargai kualitas informasi. Masyarakat harus diajak untuk berpartisipasi aktif dalam mengkonsumsi media yang bertanggung jawab.

Saat ini, pilihan ada di tangan kita, apakah akan membiarkan hegemoni digital terus memperlemah pondasi jurnalisme nasional atau bangkit bersatu dalam proyek counter-hegemonisasi demi informasi berkualitas.

Exit mobile version