
Kasus pengoplosan beras premium yang marak di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini memicu perhatian serius dari kalangan legislator. Anggota Komisi VI DPR, Sarifah Suraidah Harum, menyatakan keprihatinannya terhadap fenomena ini, yang dianggap merugikan konsumen dan menghancurkan tatanan distribusi pangan nasional. Menurutnya, praktik pengoplosan ini perlu dihentikan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pangan.
Data dari Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan Polri menunjukkan adanya 212 merek beras bermasalah yang beredar di pasaran. Dari jumlah tersebut, 136 merek merupakan beras premium dan 76 merek beras medium. Fakta ini sangat mencengangkan, mengingat 85,56% beras premium dan 88,24% beras medium tidak memenuhi standar mutu. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa 95,12% produk dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 21,66% dari produk tersebut memiliki berat kemasan yang tidak sesuai klaim.
“Ini sudah menyangkut hak konsumen yang dijamin undang-undang. Mengemas beras kualitas rendah sebagai produk premium adalah penipuan yang harus dihentikan,” tegas Sarifah, yang akrab disapa Bunda Harum. Ia menambahkan bahwa praktik ini berpotensi merugikan konsumen hingga Rp99,35 triliun per tahun, dengan rincian kerugian mencapai Rp34,21 triliun untuk beras premium dan Rp65,14 triliun untuk beras medium.
Sikap tegas dari pemerintah sangat diperlukan. Sarifah mendesak Kementerian Perdagangan untuk lebih aktif dalam pengawasan, tidak hanya melalui tindakan administratif, tetapi juga melakukan penindakan nyata terhadap produsen nakal. Ia mengingatkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sistem pangan nasional harus dipulihkan melalui langkah-langkah konkret.
Di tengah keprihatinan ini, Sarifah merekomendasikan empat langkah strategis kepada pemerintah. Langkah pertama adalah evaluasi izin perdagangan bagi produsen yang melanggar. Kedua, pemberian sanksi tegas, baik administratif maupun pidana. Ketiga, digitalisasi pengawasan mutu beras melalui penggunaan QR Code, yang dinilai dapat meningkatkan transparansi. Terakhir, melibatkan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dalam perumusan kebijakan pengawasan pangan.
“Reformasi distribusi pangan perlu dilakukan agar rakyat mendapatkan produk berkualitas dengan harga wajar,” ungkap Bunda Harum. Ia menambahkan bahwa harus ada langkah tegas dari pihak berwenang untuk memastikan praktik kecurangan dalam distribusi beras berhenti.
Jika langkah-langkah tersebut diimplementasikan, diharapkan praktik pengoplosan beras dapat diminimalisir secara signifikan dan kepercayaan masyarakat terhadap konsumsi beras premium dapat dipulihkan. Keberanian untuk bertindak tegas akan menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan ini. Pengawasan yang ketat dan langkah-langkah preventif akan dapat melindungi konsumen dan memastikan akses terhadap pangan yang berkualitas.
Menyusul laporan adanya pelanggaran terhadap distribusi beras, pihak berwenang diharapkan tidak hanya menjustifikasi langkah-langkah ini sebagai reaksi, tetapi juga membentuk sistem yang lebih baik dan lebih transparan demi kepentingan masyarakat luas. Dengan ini, reformasi dalam sistem distribusi pangan di Indonesia bisa menjadi momentum untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan dan tepercaya.





