Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) akan menggelar Filantropi Indonesia Festival (FIFest) 2025, yang bertujuan mendukung transformasi ekosistem filantropi di Indonesia. Acara ini menjadi momen penting untuk merefleksikan warisan filantropi sekaligus memperkuat kolaborasi dalam membangun sistem filantropi yang berkelanjutan.
Pada sesi diskusi bertema “Dari Tradisi Menuju Transformasi Sosial,” Rizal Algamar, Ketua Badan Pengurus PFI, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersinergi melahirkan gagasan dan inisiatif baru. “Berbagai rekomendasi dari FIFest 2025 ini akan kita rumuskan untuk ditindaklanjuti agar membangun budaya dan ekosistem filantropi yang kuat,” ujar Rizal dalam acara yang berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta.
Rizal menjelaskan bahwa filantropi di Indonesia telah berkembang dari bentuk tradisional menjadi kekuatan kolektif yang mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). “Kita perlu melakukan refleksi seraya melihat ke depan, bagaimana warisan budaya ini dapat ditransformasikan menjadi kekuatan kolektif untuk menciptakan sistem yang berkelanjutan,” katanya.
PFI, yang berdiri sejak 2007, kini telah memiliki lebih dari 250 anggota dari berbagai sektor. Melalui inisiatif Filantropi Hub, PFI bertekad mempromosikan budaya kolaboratif yang berorientasi pada dampak nyata. “Dengan Filantropi Hub, kami terus mendorong ekosistem gotong royong demi keadilan sosial dan pencapaian SDGs,” tambahnya.
Kolaborasi strategis juga menjadi bagian penting dari agenda PFI. Mereka bekerja sama dengan sejumlah kementerian, termasuk Kementerian PPN/Bappenas, untuk memastikan bahwa program-program filantropi dapat berjalan secara efektif dan mendapatkan dukungan yang tepat.
Namun, tantangan dalam dunia filantropi Indonesia tidak bisa diabaikan. Komarudin Hidayat, Ketua Dewan Pers, menyampaikan bahwa saat ini sering muncul krisis kepercayaan publik dan minimnya transparansi dalam pelaksanaan program-program tersebut. Ia mencatat bahwa diskusi di kalangan mahasiswa kini lebih sering dipengaruhi oleh prasangka politik, berbeda jauh dengan diskusi yang lebih ilmiah pada dekade sebelumnya.
“Tantangan ini menuntut kita untuk kembali ke semangat gotong royong sebagai solusi agar filantropi tetap relevan di setiap zaman,” jelas Komarudin. Ia menekankan pentingnya mengelola aset sejarah dan budaya dari Aceh hingga Papua dengan semangat kebersamaan. “Jika hal ini dilakukan, saya yakin Indonesia akan makmur.”
Melihat konteks ini, FIFest 2025 menjadi sangat relevan. Acara ini tidak hanya sebagai ajang berkumpulnya para pelaku filantropi, tetapi juga sebagai platform untuk merumuskan dan mensosialisasikan ide-ide baru serta kolaborasi yang dapat membawa dampak positif bagi masyarakat.
Dengan banyaknya agenda diskusi dan presentasi, FIFest 2025 dirancang untuk menjadi pusat bagi inovasi dalam filantropi. Para peserta diharapkan dapat keluar dengan gagasan yang konkret dan tindakan nyata untuk mendorong kolaborasi lebih lanjut.
Dengan semangat gotong royong sebagai pilar utama, penyelenggaraan FIFest 2025 diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya filantropi dalam berbagai aspek kehidupan. Penekanan pada kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk menciptakan dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Secara keseluruhan, FIFest 2025 menawarkan harapan baru bagi dunia filantropi di Indonesia. Momentum ini diharapkan menjadi titik tolak untuk merevitalisasi kultur filantropi dan memastikan bahwa nilai-nilai tradisional dapat terus berlanjut dalam era modern ini. Dengan kerja sama yang erat, filantropi Indonesia dapat menjadi kekuatan yang mendorong perubahan positif bagi seluruh lapisan masyarakat.
