Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan pentingnya keselarasan antara peraturan daerah (perda) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. KUHP tersebut akan mulai diberlakukan pada 2 Januari 2026. Dalam diskusi yang diadakan di Jakarta, Eddy menjelaskan bahwa perlu ada penyesuaian substansial dalam perda serta undang-undang sektoral agar bisa sejalan dengan perubahan yang dihadirkan oleh KUHP baru.
Menurut Eddy, penyesuaian ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kategorisasi pidana, penghapusan pidana kurungan, hingga batasan denda maksimal. Ia juga menggantikan istilah ‘kejahatan’ dan ‘pelanggaran’ menjadi ‘tindak pidana.’ “Penyesuaian tersebut diperlukan agar perda maupun UU sektoral selaras dengan KUHP baru,” ujarnya, dilansir dari Antara.
Eddy menekankan kebutuhan untuk merombak ketentuan perda, terutama yang berkaitan dengan kesusilaan. Ia mencatat, saat ini terdapat sekira 114 perda terkait kesusilaan yang sangat beragam, tergantung pada daerah masing-masing. Oleh karena itu, aturan yang berkaitan dengan kesusilaan harus berbasis delik aduan absolut untuk mencegah penegakan hukum yang sewenang-wenang.
Dalam pembahasan tersebut, Wamenkum juga menyampaikan urgensi pembentukan RUU Penyesuaian Pidana. Ia mengusulkan rencana perubahan pada Pasal 15 UU 12/2011 dan Pasal 238 UU 23/2014 untuk mengatur batasan ancaman pidana denda dalam perda maksimum kategori III. Usulan ini juga mencakup penghapusan pidana kurungan yang diganti dengan denda sesuai kategori.
“Ketika berbicara mengenai penalisasi atau pencantuman ancaman pidana dalam suatu UU, semuanya harus merujuk pada KUHP,” tegasnya. Hal ini menandai betapa fundamentalnya perubahan yang dibawa oleh KUHP baru dan perlunya penyiapan yang matang dari pemerintah daerah.
Penting untuk dicatat bahwa penegasan Eddy ini juga mencerminkan keinginan untuk mengharmoniskan seluruh regulasi di Indonesia agar tidak tumpang tindih antarsistematika hukum yang berbeda. Keteraturan dalam penegakan hukum menjadi kunci untuk meningkatkan keadilan di masyarakat.
Dalam menjaga konsistensi dan keadilan hukum, Eddy menyebutkan bahwa setiap elemen harus terlibat dalam proses pembentukan peraturan. Sesuai dengan amanat Presiden, hal ini penting untuk menciptakan regulasi yang tidak hanya sesuai dengan hukum nasional, tetapi juga mendukung kepentingan masyarakat lokal.
Ketersediaan informasi rigoris dan akurat mengenai perubahan ini menjadi sangat penting. Oleh karena itu, edukasi publik mengenai perubahan hukum harus digalakkan. Sebab pemahaman yang baik akan KUHP baru dan implikasinya terhadap perda akan membantu masyarakat dalam memahami hak dan kewajiban mereka.
Dalam era perubahan yang cepat seperti sekarang, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan pemangku kepentingan lainnya akan sangat menentukan keberhasilan implementasi KUHP baru. Tanpa adanya kesepahaman dan kerjasama yang baik, tujuan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih baik mungkin tidak akan tercapai.
Agendanya jelas: satu suara, satu langkah menuju integrasi hukum yang lebih baik di seluruh Indonesia. Ini adalah langkah awal menuju reformasi hukum yang diharapkan dapat mendorong peningkatan keadilan dan kepastian hukum di masyarakat. Masyarakat diharapkan tetap mengikuti perkembangan peraturan ini agar bisa beradaptasi dengan perubahan yang akan datang.
