Sebuah insiden menarik tengah mengguncang masyarakat Sragen setelah terjadi penghapusan mural bertema anime populer, One Piece. Kejadian ini memicu reaksi kuat dari warga setempat, terutama komunitas seniman, yang menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pengekangan terhadap ekspresi seni. Sebagai balasan yang cerdas, warga Sragen kemudian melukis simbol provokatif berupa tikus berdasi di tempat yang sama. Mural ini bukan sekadar gambar, tetapi mencerminkan kritik tajam terhadap korupsi di kalangan pejabat publik.
Mural One Piece ini awalnya menjadi daya tarik di sudut jalan Sragen, menghidupkan suasana dan menjadi wadah bagi para anak muda untuk mengekspresikan kreativitas mereka. Namun, keindahan mural tersebut tidak berlangsung lama setelah pihak berwenang menghapusnya tanpa penjelasan yang jelas. Tindakan ini tidak hanya mengecewakan, tetapi juga memicu kemarahan di kalangan warga. Mereka merasa bahwa ekspresi kreatif mereka telah ditekan secara sewenang-wenang.
Salah satu warganet bahkan mempertanyakan, “Kenapa gambar anime yang dihapus? Apa salahnya Luffy?” Pertanyaan ini mewakili kebingungan dan keprihatinan banyak orang terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap represif. Sebagai bentuk protes yang unik, warga mengubah mural yang dihapus menjadi lukisan simbolik: tikus berdasi. Simbol ini dikenal secara luas sebagai representasi para pejabat yang korup, di mana “tikus” melambangkan sifat mereka yang suka menggerogoti uang rakyat secara sembunyi-sembunyi, sedangkan “dasi” melambangkan jabatan yang mereka pegang.
Dengan melukis tikus berdasi, warga Sragen mengirim pesan tegas kepada pihak berwenang. Mereka menunjukkan bahwa meskipun seni jalanan yang dianggap tidak berbahaya ini dihapus, mereka masih dapat menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap praktik-praktik korupsi dan kekuasaan yang menindas. Peristiwa ini mencerminkan bagaimana seni jalanan telah menjadi alat kritik sosial yang efektif di Indonesia.
Tindakan penghapusan mural sering kali menimbulkan reaksi yang lebih besar. Fenomena ini diibaratkan sebagai “Efek Streisand,” di mana semakin kuat usaha untuk menutupi sesuatu, semakin viral pesan tersebut. Dulu, kita pernah melihat mural seperti “Tuhan, Aku Lapar” atau “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” yang juga dihapus karena dianggap mengkritik pemerintah. Namun, usaha untuk memadamkan suara kritis justru sering menimbulkan perhatian yang lebih luas.
Tidak hanya itu, banyak warganet mengaitkan perlawanan warga Sragen ini dengan semangat kisah One Piece. Dalam anime tersebut, karakter utama, Monkey D. Luffy, dan kawan-kawannya terlibat dalam perjuangan melawan kekuasaan yang terlalu dominan. Mural tikus berdasi ini dianggap sebagai pengingat akan pentingnya melawan ketidakadilan, meskipun dalam konteks yang berbeda.
Seni jalanan di Sragen bukan sekadar lukisan, tetapi menjadi bentuk perlawanan yang sulit untuk dibungkam. Kreativitas bagaikan senjata yang bisa melahirkan ribuan sindiran dari satu tindakan represif. Warga tidak hanya berpuas diri dengan menghapus mural yang diinginkan; mereka menemukan cara baru untuk berbicara dan menyuarakan keprihatinan mereka.
Penghapusan mural One Piece di Sragen memperlihatkan betapa pentingnya setiap suara dalam masyarakat. Tindakan warga melukis tikus berdasi bisa dipandang sebagai langkah yang cerdas dalam menjawab kebijakan yang dianggap tidak adil. Masyarakat menunjukkan bahwa mereka tidak akan diam ketika kebebasan berekspresi diancam. Protes melalui seni ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain untuk berani bersuara terhadap ketidakadilan dan korupsi.
Di era di mana media sosial menjadi alat amplifikasi suara, karya seni di jalanan berperan sebagai forum untuk mengungkapkan aspirasi dan kritik. Ini membuktikan bahwa di balik setiap kebijakan represif, selalu ada kreativitas yang siap melawan. Warga Sragen telah menunjukkan bahwa ketika satu pintu tertutup, ratusan cara baru akan muncul untuk menyampaikan pesan yang lebih besar.





