
Dalam perkembangan terbaru, 85 negara telah sepakat untuk menganggap Bisfenol A (BPA) sebagai bahan kimia berbahaya. Kesepakatan ini dicapai selama pertemuan Komite Negosiasi antar-Pemerintahan (INC-5) yang berlangsung di Busan, Korea Selatan. Pertemuan ini berfokus pada pembuatan perjanjian global untuk mengatasi masalah pencemaran plastik, termasuk bahan kimia yang digunakan dalam produk plastik.
BPA, yang telah ada sejak 1950-an, umum digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat yang terdapat pada botol air, galon guna ulang, kemasan makanan, hingga mainan anak. Penelitian menunjukkan bahwa BPA dapat ditemukan dalam tubuh hingga 93 persen populasi manusia. Bahaya dari BPA telah menjadi sorotan banyak studi, yang menunjukkan bahwa paparan bahan ini dapat mengganggu perkembangan otak anak, meningkatkan risiko kanker, serta merusak sistem hormonal manusia.
Berdasarkan proposal resmi Norwegia, BPA sekarang termasuk dalam “Daftar 1 Bahan Kimia Berbahaya” yang direkomendasikan untuk dilarang total. Pengusulan ini mendapat dukungan dari negara-negara seperti Uni Eropa, Australia, Kanada, serta sejumlah negara di Afrika. “Kami menyambut baik seruan untuk menetapkan kriteria dan langkah global, termasuk penghapusan bertahap produk plastik yang bermasalah,” ungkap pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh negara-negara peserta INC-5.
Pertemuan INC-5 juga menggarisbawahi tiga kemajuan utama. Pertama, terdapat konsensus global mengenai potensi bahaya BPA. Kedua, ada kewajiban untuk transparansi dari para produsen dalam mengungkapkan kandungan BPA pada produk plastik polikarbonat. Ketiga, mayoritas negara peserta memberikan dukungan untuk regulasi yang lebih ketat terhadap BPA.
Kesepakatan ini sejalan dengan kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia. Melalui Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024, Indonesia mewajibkan produsen air minum dalam kemasan galon guna ulang untuk mencantumkan label peringatan. Label ini menyatakan bahwa “Kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan.”
BPA merupakan bahan yang berisiko, terutama jika galon yang mengandungnya digunakan lebih dari 40 kali. Penggunaan berulang ini dapat menyebabkan pelepasan BPA, terutama jika galon dibersihkan dengan deterjen atau disikat. Selain itu, paparan sinar matahari langsung saat distribusi dapat mempercepat proses ini.
Dalam konteks lebih luas, kesepakatan untuk melarang BPA juga mencerminkan meningkatnya kesadaran global akan pentingnya melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari pencemaran plastik dan bahan kimia berbahaya. Negara-negara yang terlibat berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah konkret guna mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan BPA serta bahan kimia berbahaya lainnya pada produk plastik.
Dengan adanya kesepakatan ini, diharapkan langkah-langkah preventif dapat diambil untuk mencegah paparan BPA lebih lanjut. Hal ini tidak hanya untuk melindungi kesehatan manusia, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang semakin terancam akibat pola konsumsi plastik yang tinggi.
Pemerintah dan industri diharapkan dapat bekerja sama untuk mengimplementasikan regulasi yang sudah disepakati dan Rencana Aksi dibahas dalam pertemuan tersebut. Masyarakat pun perlu diberikan informasi dan edukasi yang lebih baik mengenai bahaya BPA dan cara-cara untuk memitigasi risiko yang terkait dengan penggunaannya.
Momen ini menjadi titik awal penting dalam pergeseran arah kebijakan global tentang bahan kimia berbahaya. Ke depannya, penciptaan regulasi yang lebih ketat terhadap penggunaan bahan kimia seperti BPA diharapkan menjadi langkah positif dalam melindungi generasi mendatang dari risiko kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh paparan bahan berbahaya ini.





