Akademisi sekaligus Kepala Laboratorium 2045 (Lab 45), Jaleswari Pramodhawardani, baru-baru ini mengkritik pernyataan sejumlah pejabat pemerintah dan anggota DPR yang menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk makar. Menurutnya, anggapan tersebut menunjukkan kurangnya pergaulan dan pemahaman terhadap kebebasan berekspresi di kalangan para pejabat. Hal ini dikemukakan Jaleswari dalam konferensi pers menjelang Seminar Nasional yang bertajuk “Refleksi Delapan Dekade dan Proyeksi Indonesia 2045” di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat.
Jaleswari menyatakan bahwa kritik terhadap pengibaran bendera One Piece terlalu jauh dan tidak mencerminkan realitas. “Saya khawatir lama-lama netizen bilang itu kurang pergaulan pejabatnya,” ujarnya. Dia menegaskan bahwa pengibaran bendera tersebut bukanlah bentuk ancaman, melainkan suatu bentuk ungkapan perasaan masyarakat yang merasa prihatin dan kecewa.
Ia menjelaskan bahwa bendera One Piece dapat dipandang sebagai ekspresi kreatif yang tidak hanya menghibur, tetapi juga merefleksikan keresahan publik. Pengibaran bendera ini menunjukkan adanya kebebasan berekspresi yang seharusnya dijunjung tinggi. “Bendera merah-putih kita ini terlalu sakral, terlalu rendah kalau dibandingkan dengan bendera-bendera lain yang sebetulnya adalah ekspresi dari keprihatinan,” tambahnya.
Jaleswari juga mengingatkan pentingnya pemerintah untuk mengakomodir kebebasan berekspresi dan kreativitas masyarakat. Dalam konteks merayakan kemerdekaan Indonesia yang akan berusia 80 tahun, dia menekankan bahwa seharusnya pemerintah dapat merayakan kedewasaan dan kematangan masyarakat dengan mengizinkan berbagai bentuk ekspresi, termasuk yang dihadirkan oleh bendera One Piece.
Selain itu, kritik terhadap pejabat yang menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai makar juga mengundang perhatian publik. Banyak netizen yang berpendapat bahwa dialog terbuka antara pemerintah dan rakyat sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman. Pengibaran bendera ini melambangkan keresahan yang telah disuarakan melalui berbagai media sosial. Jaleswari menilai bahwa jika sesekali pemerintah merepress atau menekan ekspresi tersebut, hal itu justru akan menciptakan preseden yang lebih buruk bagi kebebasan yang sewajarnya dijaga.
Sebelumnya, di media sosial banyak bermunculan foto-foto masyarakat yang mengibarkan bendera One Piece di berbagai lokasi, mengekspresikan keyakinan bahwa seni dan budaya pop dapat menjadi jalur komunikasi antara rakyat dan pemerintah. Fenomena ini semakin memperlihatkan dinamika antara kepentingan pemerintah dan keinginan masyarakat untuk mengekspresikan diri.
Dalam konteks ini, Lab 45 menilai bahwa bendera One Piece tidak hanya sekadar simbol dari sebuah series anime popular, tetapi telah berubah menjadi simbol dari suara masyarakat yang ingin didengar. Penempatan bendera tersebut bisa dilihat sebagai gelombang dari aspirasi rakyat Dewasa ini, yang menginginkan pemerintah agar lebih responsif terhadap kebutuhan dan harapan mereka.
Menghadapi 80 tahun kemerdekaan, Jaleswari mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama merenungkan sikap serta tanggung jawab yang lebih besar. Ia menekankan, “Marilah kita bersama-sama merefleksikan kedewasaan, kematangan, dan kebijaksanaan itu dalam sikap kita kepada masyarakat.”
Dia berharap, di era modern ini, pemerintah dapat melihat bahwa kreativitas dan ekspresi masyarakat tidak selalu harus dibatasi, melainkan justru bisa menjadi bagian dari dialog dan interaksi yang membangun. Hal ini penting untuk menciptakan harmoni antara pemerintah dan rakyat dalam memandang isu-isu yang berkembang saat ini.
