Sebanyak 3.503 jemaah haji khusus untuk tahun 2024 akan diberangkatkan tanpa harus antre, menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan transparansi dalam sistem pengelolaan kuota haji di Indonesia. Keputusan ini menjadi sorotan di tengah sedang berlangsungnya penyelidikan kasus korupsi terkait kuota haji oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pihak KPK tengah menginvestigasi dugaan adanya penyimpangan dalam pembagian kuota haji setelah adanya pengunduran jadwal haji reguler dan khusus. Di satu sisi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, bersama staf khusus dan pemilik biro perjalanan haji, telah dicekal sebagai bagian dari proses penyidikan. Sejak 9 hingga 15 Agustus 2025, operasi penggeledahan telah dilakukan di beberapa lokasi, mengakibatkan penemuan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik.
Dalam laporan Pansus Haji, terungkap bahwa langkah Kementerian Agama dalam pembagian kuota tambahan yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari total 20 ribu kuota tambahan, seharusnya hanya 8 persen yang dialokasikan untuk haji khusus. Namun, faktanya, 10 ribu kuota dialokasikan untuk haji khusus, yang berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Tindakan ini seakan memberdayakan penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) untuk memilih siapa yang berhak mendapatkan kuota, tanpa adanya sistem antrean yang jelas. Ditemukan pula bahwa jemaah yang ingin mempercepat keberangkatan haji mereka dipaksa membayar hingga USD 21.950. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan bisnis lebih mendominasi daripada prinsip keadilan dalam sistem antrean.
Ketua Pansus Haji mengkhawatirkan adanya pelanggaran dalam pengelolaan kuota ini. Dalam laporan resmi mereka, dinyatakan, “Fakta bahwa terdapat 3.503 jemaah haji khusus yang berangkat tanpa melalui antrian normal memperlihatkan adanya ketidakberesan dalam sistem pengelolaan haji.” Penemuan ini mengindikasikan perlunya adanya reformasi untuk memastikan bahwa kuota haji, khususnya untuk haji tambahan, dikelola secara lebih adil.
Selain itu, KPK tengah melakukan komunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung besaran potensi kerugian keuangan negara yang ditimbulkan, yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Penegakan hukum dalam kasus ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan menarik perhatian publik terhadap berbagai isu yang membayangi sistem haji di Indonesia.
Selaras dengan hal tersebut, anggota Pansus Haji juga menegaskan perlunya pengawasan yang lebih baik terhadap penggunaan kuota. Kemenag didorong untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengelolaan kuota haji, serta untuk menerapkan mekanisme yang lebih adil bagi semua calon jemaah.
Situasi ini menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat yang menilai bahwa sistem yang ada saat ini tidak memperlakukan semua jemaah dengan adil. Sementara itu, kelangkaan dan terjadinya antrean panjang membuat mereka yang tidak mampu membayar tarif tinggi merasa dirugikan.
Ke depan, penting bagi Kementerian Agama dan pihak terkait untuk serius dalam memperbaiki kerangka hukum dan administratif yang mengatur pelaksanaan ibadah haji. Penegakan hukum dalam kasus ini diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan haji, sementara jemaah diharapkan dapat melaksanakan ibadah ini dengan cara yang adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
