Pembebasan bersyarat Setya Novanto (Setnov), mantan Ketua DPR RI yang terlibat dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP, menjadi perbincangan hangat di media. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menegaskan bahwa lembaganya tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam proses pembebasan bersyarat ini. Menurut Tanak, tanggung jawab tersebut sepenuhnya ada pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Dalam konferensi pers yang berlangsung pada Senin, 18 Agustus 2025, Tanak menyatakan, "KPK tidak ikut campur dengan hal tersebut." Ia menjelaskan bahwa tugas KPK berakhir setelah proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan pengadilan yang telah inkrah. Setelah semua tahapan itu dilaksanakan, maka KPK tidak memiliki peranan lebih lanjut.
Kronologi Pembebasan Bersyarat
Pembebasan bersyarat Setnov ini terjadi setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dengan nomor 32/PK/Pid.Sus/2020. Putusan yang dikeluarkan pada 4 Juni 2025 tersebut mengurangi masa hukuman Setnov dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Selain itu, denda yang dijatuhkan berjumlah Rp500 juta subsider selama 6 bulan penjara, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp49.052.289.803 yang jika tidak dibayar akan dikenakan pidana penjara tambahan selama 2 tahun.
Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Jawa Barat, Kusnali, menambahkan bahwa Setnov telah memenuhi beberapa kewajiban administratif. Ia telah membayar denda sebesar Rp500 juta, dilengkapi dengan surat keterangan lunas dari KPK. Begitu pula, Setnov telah menyelesaikan pembayaran uang pengganti sebesar Rp43.738.291.585, dengan sisa kewajiban sebesar Rp5.313.998.118.
Dampak dan Respon Publik
Pembebasan bersyarat ini tentu saja menimbulkan reaksi yang beragam di kalangan masyarakat. Banyak yang mempertanyakan relevansi dan integritas proses hukum terkait koruptor, khususnya yang pernah menduduki posisi strategis dalam pemerintahan. Kasus Setnov menjadi salah satu contoh mengapa masyarakat kerap skeptis terhadap penegakan hukum di Indonesia.
KPK sebagai lembaga yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi dinilai harus lebih aktif dalam sosialisasi mengenai fungsi dan batasan wewenangnya. Saat ini, KPK diharapkan bisa menjelaskan lebih transparan tentang proses hukum yang telah dilalui Setnov, serta tanggung jawab kementerian terkait dalam menentukan status bebas bersyarat bagi terpidana korupsi.
Pandangan Ahli
Pengamat hukum, Professor Allan Lauder, menjelaskan bahwa isu pembebasan bersyarat ini bukan hanya soal individu, tetapi juga mencerminkan sistem hukum yang ada. "Apabila proses pembebasan bersyarat ini diwarnai oleh kepentingan politik atau tekanan dari pihak luar, maka akan semakin memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia," ujarnya.
Professor Lauder juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap prosedur pemberian pembebasan bersyarat. "Sistem hukum perlu diperbaiki agar lebih transparan dan akuntabel, terutama dalam kasus-kasus korupsi yang telah merugikan negara."
Penutup
Dengan dinamika yang terus berlanjut, situasi terkait Setya Novanto dan kebijakan pembebasan bersyarat ini menunjukkan tantangan besar bagi lembaga penegak hukum dan masyarakat. Dalam menghadapi isu-isu tersebut, penting bagi semua pemangku kepentingan untuk berkontribusi terhadap reformasi sistem hukum yang lebih baik dan efektif, demi terciptanya keadilan yang nyata di Indonesia.
