Kronologi Dugaan Sabotase Peluncuran Buku Jokowi’s White Paper: Fakta dan Analisis

Dalam beberapa hari terakhir, peluncuran buku berjudul “Jokowi’s White Paper” yang ditulis oleh Roy Suryo beserta dr. Tifauzia Tyassuma dan Dr. Rismon Sianipar, menuai kontroversi yang mencolok. Dugaan sabotase yang terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) saat acara tersebut digelar menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan berpendapat di Indonesia.

Pada 17 Agustus 2025, dr. Tifauzia telah memesan Ruang Nusantara di UC UGM untuk acara peluncuran yang dijadwalkan pada 18 Agustus 2025. Pembayaran sewa sebesar Rp1 juta pun telah dilakukan. Namun, pada malam sebelum acara, pihak UC UGM mendapat kunjungan dari anggota UP4 dan Polsek Bulak Sumur yang tampaknya berkaitan dengan interogasi yang mengarah pada pembatalan. Pada keesokan harinya, pihak UC UGM mengirimkan pesan untuk membatalkan pemesanan ruangan, dan berjanji mengembalikan uang sewa.

“Dengan terpaksa, panitia memindahkan acara ke kafe di Jalan Cikditiro, namun karena banyaknya tamu yang sudah hadir di UC UGM, akhirnya kami menerima situasi di sana,” ujar Ahmad Khozinudin, pengacara Roy Suryo. Acara yang tadinya berniat dikemas dalam suasana formal, terpaksa diubah menjadi “soft launching” pada pukul 14.00 WIB.

Namun, situasi semakin memanas saat pemadaman listrik terjadi secara mendadak selama acara berlangsung. Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Himne Universitas Gadjah Mada, tepat saat doa dibacakan, lampu dan AC tiba-tiba dimatikan. “Ini jelas bukan mati listrik biasa. Hanya area peluncuran yang dipadamkan,” tambah Khozinudin, menyoroti misteri di balik tindakan tersebut.

Acara tetap dilanjutkan meskipun dalam kondisi gelap berkat adanya wireless dan baterai. Banyak tokoh yang hadir seperti Said Didu dan Jenderal Tiasno Sudarto, yang menjadi saksi akan momen mencengangkan ini. “Ini sangat mencolok. Di tengah peringatan kemerdekaan yang ke-80, kita masih menghadapi pembungkaman berpendapat yang sangat mengkhawatirkan,” tegas Khozinudin.

Menghadapi insiden ini, Khozinudin menegaskan bahwa acara di UC UGM bukan hanya tentang peluncuran buku, tetapi juga sebuah cerminan akan kebebasan berpendapat yang sering dipertanyakan. Ia mengaitkan peristiwa ini dengan sejarah pembungkaman buku-buku yang dianggap kritik terhadap pemerintah, seperti “Jokowi Undercover” yang sebelumnya ditarik dari peredaran.

“Dalam kasus Jokowi’s White Paper, upaya pembungkaman ini menunjukkan bahwa masyarakat masih harus berjuang keras untuk meraih hak untuk berekspresi dan berbicara,” ujarnya. Ia menuntut klarifikasi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengenai keterlibatan pihak kepolisian dalam insiden ini, yang dianggapnya menghalangi peluncuran buku tersebut.

Ketidakpuasan terhadap pembungkaman berpendapat mencuat seiring pernyataan Khozinudin. Pembungkaman terlihat jelas, bukan hanya kepada penulis buku, tetapi juga kepada masyarakat luas yang berhak menerima informasi. “Pembungkaman harus dikecam. Kita tidak hanya bicara tentang satu buku, tetapi tentang hak asasi manusia untuk berbicara dan menyampaikan pendapat secara resmi,” pungkasnya.

Meskipun demikian, acara tetap berlanjut meski dalam keadaan tertekan. Hal ini mengindikasikan bahwa meski tantangan untuk menyuarakan pendapat ada di depan, semangat para penggiat literasi dan penulis tetap berjalan. “Kami akan terus berjuang untuk hak ini meskipun ada banyak rintangan,” klarifikasi Khozinudin di akhir acara.

Sementara itu, laporan tentang dugaan sabotase ini segera tersebar di berbagai platform berita, menarik perhatian publik serta menimbulkan perdebatan hangat mengenai kebebasan berpendapat, terutama dalam konteks akademis dan literasi. Kejadian ini menunjukkan bahwa tantangan dalam menyampaikan kritik dan menjalani perdebatan intelektual di Indonesia masih menjadi isu vital yang memerlukan perhatian lebih.

Berita Terkait

Back to top button