Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Supratman Andi Agtas memberikan pernyataan tegas mengenai permohonan amnesti yang diajukan oleh Immanuel Ebenezer, eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang kini berstatus tersangka dalam kasus pemerasan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Dalam keterangannya pada Senin, 25 Agustus 2025, Supratman menyatakan bahwa hingga saat ini, Presiden Prabowo Subianto tidak memiliki rencana untuk memberikan amnesti kepada Noel, sapaan akrab Immanuel Ebenezer.
Supratman mengungkapkan, “Sampai hari ini, belum ada pikiran baik di Presiden maupun di Kementerian Hukum, belum ada terkait dengan hal tersebut.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa tidak ada diskusi internal mengenai amnesti bagi Noel, yang menghadapi dugaan serius terkait pemerasan dalam jabatannya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Noel sebagai tersangka setelah menemukan bukti bahwa ia diduga menerima dana sebesar Rp3 miliar terkait pengurusan sertifikasi K3. Meskipun menghadapi tuduhan serius, Noel secara terbuka meminta amnesti dari Presiden, berharap agar situasi hukumnya bisa berubah. “Semoga saya mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo,” ungkapnya dari balik mobil tahanan pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Permohonan tersebut menyiratkan keputusasaannya di tengah proses hukum yang sedang berjalan. Dalam kesempatan itu, dia juga menyampaikan permohonan maaf kepada berbagai pihak, termasuk Presiden Prabowo, keluarganya, dan rakyat Indonesia. “Kasus saya bukan kasus pemerasan, agar narasi di luar tidak menjadi narasi yang kotor memberatkan saya,” tambah Noel.
Meskipun Noel berusaha membela diri, aduan terhadap dirinya mengindikasikan bahwa proses hukum akan terus berlangsung. KPK, yang terkenal sangat ketat dalam menangani kasus-kasus korupsi, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengendurkan penyelidikan yang sedang berlangsung.
Pernyataan Supratman semakin memperjelas posisi pemerintah mengenai isu ini. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia belum merencanakan langkah-langkah yang bersifat amnesti, hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai konsistensi dan sikap pemerintah terhadap tindakan korupsi. Terlebih lagi, dalam konteks menguatkan integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan, keputusan untuk tidak memberikan amnesti dapat dianggap sebagai sikap tegas terhadap tindakan korupsi.
Ketidakpastian mengenai masa depan hukum Immanuel Ebenezer juga menciptakan perhatian di kalangan publik. Situasi ini tidak hanya mengangkat isu mengenai penggunaan kekuasaan, tetapi juga menimbulkan refleksi lebih dalam mengenai etika di kalangan pejabat publik. Banyak pihak berharap agar kasus ini dapat diusut dengan adil dan transparan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat terjaga.
Meskipun Noel berharap untuk mendapatkan amnesti, realitas saat ini menunjukkan bahwa pemerintah nampaknya berkomitmen untuk tidak memberikan toleransi terhadap tindakan yang merugikan masyarakat. Sikap pemerintah ini pun bisa menjadi sinyal kuat bagi mereka yang memiliki posisi serupa untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang mungkin berdampak pada integritas dan kepercayaan publik.
Terlepas dari ini semua, proses hukum yang menimpa Noel akan terus dipantau oleh berbagai pihak, termasuk KPK sebagai lembaga penegak hukum. Penanganan yang adil dan transparan diharapkan dapat menjadi contoh bagi kasus-kasus korupsi lainnya, dan membantu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara. Dapat dikatakan bahwa langkah pemerintah dalam mengatasi kasus ini akan sangat berpengaruh terhadap wibawa dan legitimasi pemerintahan di mata publik.
