Pada Senin, 25 Agustus 2025, demonstrasi besar-besaran menghiasi halaman depan Gedung DPR RI di Jakarta, dengan ribuan massa menuntut pembubaran DPR. Masyarakat mengungkapkan kekecewaan terhadap isu kenaikan gaji dan tunjangan fantastis para anggota dewan yang dapat mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Namun, alih-alih mendengarkan suara rakyat, banyak anggota DPR malah memilih untuk mengakhiri rapat dan meninggalkan gedung dengan cepat.
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang berlangsung di Komisi I DPR RI tersebut menghadirkan perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Agenda yang seharusnya menjadi wadah bagi diskusi mendalam ini hanya berlangsung sekitar 30 menit. Wakil Ketua Komisi I, Dave Laksono, membuka rapat dengan ucapan terima kasih kepada narasumber, tetapi tidak lama kemudian ia menutup agenda tanpa memberikan kesempatan untuk pertanyaan dan diskusi lebih lanjut.
Melihat situasi yang memanas di luar gedung, Dave mengungkapkan kekhawatirannya tentang keselamatan para anggota dewan. Dalam pernyataannya, ia menyarankan agar pertanyaan disampaikan melalui sekretariat, sehingga anggota DPR dapat segera meninggalkan lokasi. “Ini mengingat situasi terus bergulir di luar, kami khawatirkan kalau kita terlalu lama, nanti sulit kita keluar dari kompleks parlemen,” kata Dave.
Fenomena ini mencerminkan jurang yang semakin lebar antara rakyat dan wakilnya. Banyak warga merasa bahwa kehadiran mereka di depan DPR tidak diacuhkan. Respons warganet pun beragam, dengan banyak yang mengecam tindakan tersebut. “Ngakunya mewakili rakyat, disamperin rakyat ke kantornya malah pada kabur,” komentar seorang pengguna Twitter.
Dari sudut pandang keamanan, langkah anggota DPR untuk meninggalkan gedung lebih cepat bisa dimaklumi. Pengamanan ketat yang dilakukan di sekitar gedung menciptakan suasana yang tegang. Akses menuju gerbang utama bahkan sudah dipagari beton sehari sebelumnya, menandakan adanya potensi untuk kerusuhan.
Di tengah situasi ini, tuntutan demonstran jelas. Mereka mendesak untuk adanya transparansi dalam pengelolaan anggaran negara dan menuntut agar anggota DPR lebih responsif terhadap aspirasi rakyat. Namun, keengganan anggota DPR untuk berinteraksi dengan demonstran semakin memperburuk citra lembaga legislatif di mata publik. Pengamat politik mencatat bahwa jika anggota DPR terus menerus mengabaikan aspirasi rakyat, legitimasi mereka sebagai wakil rakyat bisa dipertanyakan.
Simaklah reaksi para pengunjuk rasa yang menunjukkan bahwa mereka tidak hanya marah, tetapi juga merasa diabaikan. Salah satu akun media sosial berkomentar, “Ini wakil partai, bukan wakil rakyat soalnya,” mencerminkan rasa frustrasi yang mendalam. Situasi ini tentunya membuka peluang untuk diskusi lebih lanjut mengenai fungsi dan tanggung jawab anggota DPR.
Masyarakat kini berharap agar kejadian seperti ini tidak terulang. Satu hal yang pasti, komunikasi yang terbuka dan transparan antara rakyat dan wakilnya menjadi sangat penting. Kegagalan dalam hal ini dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Dalam konteks politik yang semakin kompleks, tantangan bagi para legislator adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara menjalankan tugas mereka dan tetap menjalin komunikasi yang efektif dengan konstituen. Keputusan untuk segera meninggalkan gedung tanpa mendengarkan suara rakyat justru berpotensi menambah ketegangan antara pemerintah dan publik.
Ditambah lagi, dengan meningkatnya kekhawatiran dari masyarakat akan legitimasi dan transparansi dalam pemerintahan, penting bagi anggota DPR untuk lebih mendengarkan dan merespons aspirasi rakyat agar mereka tidak dituduh hanya berjuang demi kepentingan pribadi atau golongan semata. Keterbukaan dalam berkomunikasi dan akuntabilitas terhadap keputusan yang diambil menjadi suatu keharusan demi terciptanya demokrasi yang lebih sehat.





